Dalam keadaan sekarang ini hidup terasa semakin sulit. Segala hal menjadi mahal. Dulu, jika sakit, tinggal pergi ke dokter. Tapi sekarang ini banyak orang yang tidak bisa selalu menebus obatnya, jika pergi ke dokter.
Sama seperti harga barang lain, harga obat pun ikut-ikutan terbang ke langit. Sementara upaya untuk mengobati diri sendiri pun bukan tanpa bahaya. Jika yang diobati sendiri bukan penyakit ringan, ongkos pengobatannya menjadi lebih besar. Misalnya, jika harus dirawat di rumah sakit. Memang ada kondisi yang bisa diobati sendiri dengan obat warung. Tapi ada saatnya pula kapan harus ke dokter, serta bagaimana bersikap kritis dan rasional dalam penggunaan obat.
Berikut ini ada sepuluh panduan yang mungkin bisa dimanfaatkan agar lebih efisien dalam berobat.
1. Tidak semua keluhan sakit memerlukan obat.
Betul. Bagaimanapun obat menjadi "racun" jika salah alamat dan dipakai secara berlebihan. Sekalipun itu obat warung, pasti ada efek sampingannya. Lebih-lebih jika sering dipakai. Efek sampingan obat sakit kepala terhadap ginjal dan hati, misalnya. Orang Amerika sudah jera, sebab obat sakit kepala (aspirin) dulu diperlakukan masyarakat mirip kacang goreng. Sakit kepala sedikit, langsung minum obat.
Pihak yang konservatif lebih takut menggunakan obat, sehingga tidak sebentar-sebentar minum obat. Betapa ringannya pun obat itu pasti ada efek buruknya bagi tubuh. Mereka yang bergerak di bidang pengobatan alternatif merasa prihatin atas pemakaian bahan kimia obat pada tubuh. Pengobatan homeopathy, mixobition, prana, orthomoleculer medicine, accupressure, maupun akupungtur, sebetulnya hendak menjauhkan tubuh dari imbas bahan kimiawi obat. Jika masih bisa sembuh atau meringankan tanpa obat, sebaiknya tidak memilih obat.
2. Tidak semua obat menyembuhkan penyakit.
Memang, tidak semua obat menyembuhkan penyakit. Jika pemakaian obat yang sama untuk waktu lama tidak mengubah penyakit, mungkin obatnya memang tidak tepat. Dalam keadaan begini, sebaiknya obat segera dihentikan. Prinsip dalam memakai obat memperhitungkan unsur manfaat dan melupakan efek buruknya. Jika masih punya manfaat, efek buruk obat boleh dilupakan. Tapi jika minum obat tidak memberi manfaat, orang cuma memikul efek buruknya. Ini yang harus dicegah.
Banyak pasien kanker juga tidak sudi diberi obat, sebab efek buruk obat kanker dianggap menyengsarakan: rambut rontok, kulit jelek, dan sel darah rusak. Karena manfaatnya cuma memperpanjang hidup dan efek buruknya dirasa menyengsarakan, maka orang tidak memilih obat.
Obat menjadi tidak bermanfaat kalau dokter salah mendiagnosis. Pemakaian obat untuk penyakit baru yang tanpa reaksi kesembuhan harus dicurigai. Dalam hal ini selain salah mendiagnosis, bisa saja dokter salah memberi obat, atau obatnya memang palsu.
Rata-rata obat sudah memberikan reaksi setelah beberapa kali diminum. Obat suntik segera memberikan reaksi. Jika tidak ada reaksi sama sekali, tanyakan pada dokternya. Melanjutkan obat tanpa khasiat, selain merugikan kocek, juga memikul efek buruk obat.
3. Tidak semua obat dalam resep harus diterima.
Benar. Dalam meresepkan obat, dokter berpola pada dua hal. Pertama, memberikan jenis obat untuk meringankan keluhan dan penderitaan pasien. Jenis obat ini sebetulnya perlu tidak perlu. Jika pasien bisa tahan dengan keluhan demam, nyeri, batuk, mual, atau muntahnya, dan dokter memperkirakan tidak akan mengancam jiwa, obat pereda keluhan dan gejala tidak begitu perlu.
Yang lebih perlu tentu obat pokok. Obat ini yang membasmi atau meniadakan sumber penyakitnya. Kalau infeksi, ya, antibiotiknya. Kalau darah tinggi, ya, penyebab darah tingginya. Soal pereda demam, pereda nyeri kepala, pusing, boleh diberi boleh tidak.
Orientasi dokter sering memihak pada permintaan pasien. Kebanyakan pasien mengira keluhan dan gejala yang mereda identik dengan sembuh. Karena itu pasien (dan sering-sering juga dokter) lebih mementingkan obat simptomatik daripada obat untuk meniadakan penyebab penyakitnya. Dengan atau tanpa obat simptomatik, asal pilihan obatnya tepat, sebetulnya penyakit akan sembuh juga.
4. Mutu obat tidak ditentukan oleh harganya.
Bukan sebab harganya tinggi maka obat lebih bermutu. Semua obat generik, yang meniru obat aslinya, jika dibuat dengan standar pembuatan obat yang baik (CPOB), pasti sama manjurnya.
Banyak kali kesembuhan pasien ditentukan pula oleh faktor psikisnya. Rasanya kurang tokcer kalau tidak minum obat mahal. Pasien dari awal sudah tidak percaya pada obat yang berharga rendah. Sugesti begini bisa berpengaruh terhadap proses kesembuhan dan memang bisa tidak sembuh betulan. Efek placebo begini banyak menghantui orang kota. Imbasnya, dokter yang tak mau dianggap kurang bonafid akan selalu memberi resep yang mahal, walaupun ia tahu ada pilihan yang lebih murah. Takut pasien nggak sembuh. Padahal obat sama yang lebih murah mengobati lebih banyak pasien (di pedesaan) yang dari awalnya memang percaya saja.
5. Kebanyakan obat bisa menimbulkan penyakit baru.
Benar. Orang sekarang doyan sekali banyak minum berbagai jenis obat sekaligus. Minum obat jadi kebanggaan. Padahal di negara-negara maju, orang mampu pun semakin membatasi pemakaian obat.
Semakin berderet resep yang diberikan dokter, mungkin saja bisa mencerminkan keragu-raguan dokter. Tapi itu juga bisa untuk menenteramkan hati pasien, yang dianggap dokter punya efek menyembuhkan juga.
Banyak ahli obat mencemaskan kecenderungan dokter sekarang yang menulis resep lebih banyak. Resep yang disebut bersifat polypharmacy menjadikan perut pasien mirip apotek. Semua jenis obat masuk. Hal ini sering tidak rasional.
Pemakaian obat secara berlebihan yang tidak jelas manfaat dan tujuannya, jelas merugikan pihak pasien. Kasus kesalahan pihak dokter dalam memberi obat atau iatrogenic menjadi pembicaraan masyarakat modern. Kini, semakin banyak kasus orang sakit akibat kebanyakan obat yang tidak perlu. Penyakit iatrogenic sedang dicemaskan masyarakat yang sadar akan bahaya obat.
6. Pasien tetap punya hak bertanya.
Kesalahan selama ini sebab pasien tidak memanfaatkan haknya untuk bertanya pada dokter yang memeriksanya. Jangankan bertanya obat yang diberikan, soal apa penyakitnya pun sering pasien belum tahu. Pasien cenderung menerima saja apa yang dikatakan dan diberikan dokter.
Di pihak lain, kondisi yang tersedia pada kebanyakan dokter di negara berkembang kurang cukup waktu bagi dokter untuk menjawab pertanyaan pasien. Dokter berpikir, yang penting sembuh, pasien tak perlu banyak bertanya.
Namun dalam hal obat, pasien perlu bertanya. Kultur pasien di Barat selalu memanfaatkan haknya untuk bertanya. Bahkan bertanya apa saja, sebab memang kewajiban dokter untuk menjelaskan, apa yang dilakukan dokter terhadap diri pasiennya. Termasuk obat apa yang diberikan, bagaimana cara kerjanya, apa efek buruknya, dan seterusnya.
Pasien yang banyak bertanya menguntungkan dirinya dalam banyak hal. Begitu juga dalam hal resep yang dia terima. Mestinya, pasien menanyakan jenis-jenis obat yang diresepkan dokter. Apa gunanya dan apa bahayanya. Apakah boleh dikurangi? Misalnya, obat-obat yang cuma meringankan keluhan dan gejala, apa bisa dicoret dari resep atas kesepakatan dokternya.
7. Apotek tidak berhak menukar obat lain dari yang ditulis dokter.
Ya, acap kali terjadi apotek menukar obat yang tidak sesuai dengan yang dituliskan dokter tanpa sepengetahuan dokter. Motifnya lebih karena alasan ekonomi. Mungkin obat yang diminta dokter memang tidak ada. Agar pasien tidak mencari ke apotek lain, apotek menukarnya sendiri dengan obat yang sama dari pabrik yang lain.
Mungkin juga sebab kenakalan apotek, misalnya sengaja menukarnya dengan obat yang walaupun sama tapi harganya lebih tinggi, atau yang memberi untung lebih besar bagi apotek. Ini berarti merugikan kocek pasien, padahal khasiat kesembuhannya tidak berbeda. Sekali lagi obat yang lebih tinggi harganya tidak berarti selalu lebih manjur.
8. Tidak semua obat harus dihabiskan.
Pasien sering bingung apa obat yang diberikan dokter perlu dihabiskan atau tidak. Juga karena komunikasi pasien - dokter yang buntu, pasien dirugikan sebab memakai obat secara salah. Sebab, tidak semua obat yang diberikan dokter perlu dihabiskan. Obat jenis simptomatik, yaitu untuk meredakan keluhan dan gejala pasti tidak perlu dihabiskan. Hanya diminum kalau keluhan dan gejalanya masih ada atau muncul lagi.
Obat yang masih sisa sebaiknya disimpan baik-baik. Jika tahu indikasinya, obat yang disimpan baik bisa dipakai kembali jika mengalami keluhan yang sama.
9. Tidak setiap kali sakit perlu ke dokter.
Benar. Demi penghematan dan efisiensi, masih arif kalau tidak selalu pergi berobat setiap kali sakit.
Untuk dapat berperan demikian tentu perlu pengetahuan medis dari bacaan dan pergaulan. Jika batuk pilek saja, bisa minum obat sendiri. Begitu juga jika mulas, pening, pusing, atau mual.
Hampir kebanyakan penyakit harian, biasanya akan sembuh sendiri walaupun tidak diobati. Tubuh kita punya mekanisme penyembuhannya yang besar. Intervensi obat yang terlalu cepat atau berlebihan justru mengganggu mekanisme alamiah tubuh.
Obat warung dibutuhkan jika orang sudah merasa terganggu dengan keluhannya. Misalnya, peningnya bikin susah tidur, atau mualnya sampai nggak bisa makan, obat baru diperlukan. Selama bisa tanpa obat, biarkan tubuh menyembuhkannya sendiri.
Jadi, kapan kita harus ke dokter? Yaitu bila keluhan dan gejala yang sama tidak menghilang sampai beberapa hari. Atau keluhan dan gejala yang sama berkembang progresif. Semakin hari keluhan dan gejalanya semakin berat. Ini tanda penyakitnya bertambah parah dan perlu intervensi medis.
Batuk-pilek lebih dari seminggu pun perlu diwaspadai. Siapa tahu sudah radang paru-paru, sinusitis, atau congekan. Mengobati sendiri memang tidak selamanya aman, selain berisiko membiarkan penyakit telanjur bertambah parah. Tapi dengan pengetahuan dan wawasan medis yang semakin banyak, di saat harga obat dan berobat menjadi semakin mahal, upaya pengobatan sendiri menjadi pilihan untuk efisiensi.
10. Banyak upaya untuk pencegahan bisa dilakukan.
Motto lebih baik mencegah daripada mengobati harus diingat kembali. Sebetulnya, banyak upaya bisa dilakukan supaya tidak gampang sakit.
Pertama, kondisi tubuh jangan sampai diperlemah. Dalam kondisi seperti sekarang, stres bisa merusak badan juga. Orang kurang doyan makan, menu menurun mutunya, istirahat terganggu sebab semakin susah tidur, pekerjaan bertambah berat karena harus cari tambahan kiri-kanan. Semua itu memperburuk pertahanan tubuh.
Dalam kondisi pertahanan tubuh yang buruk penyakit mudah menyerang. Selain infeksi, maag, darah tinggi, herpes zoster, sering flu, atau kena virus lain yang kesemuanya lazim menyerang orang dengan kondisi tubuh yang dibiarkan menurun terus. Dalam keadaan seperti sekarang ini, tetaplah hidup teratur.
Dalam musim penghujan perlu membuat tubuh lebih hangat. Pilih menu yang hangat, seperti soto, sop, dan berprotein tinggi. Jauhkan menu dan jajanan yang dingin seperti gado-gado, rujak, asinan, buah dingin, masakan Padang, serta semua yang dihidangkan secara instan, tidak panas, atau dimakan mentah.
Ketika tubuh mulai terasa kurang enak, stop kerja berat, makan makanan yang lebih banyak mengandung protein (daging, ikan, susu, telur), dan beristirahat lebih banyak atau lebih sering. Jika merasa lesu dan mengantuk berarti tubuh memang mengajak kita untuk beristirahat. Isyarat ini jangan dilawan. Kalau memang maunya tidur terus, bawalah tidur dan jangan melakukan aktivitas apa pun, sekali pun menonton TV atau membaca.
Banyak penyakit yang menyerang orang yang tubuhnya sedang lemah. Semua penyakit virus, termasuk demam berdarah (yang kini cenderung menyerang orang dewasa juga, selain anak-anak), cacar air, herpes zoster dan herpes simpleks mulut, flu, dan banyak penyakit perut disebabkan oleh virus dari jajanan dan lingkungan kotor.
Semua ancaman di sekitar kita tidak mungkin kita redam. Yang bisa dilakukan hanya membuat tubuh lebih kuat dengan menu bergizi, cukup beristirahat, dan olahraga untuk melawan semua ancaman itu. Jika tubuh terasa loyo, mungkin diperlukan vitamin C, E, dan mineral lebih banyak, selain buah dan sayur-sayuran.