31 Mei 2009

Nikotin Sangat Adiktif, Lebih Daripada Heroin

Posted from : surabaya-ehealth.org
Surabaya, eHealth. Menyambut Hari Bebas Tembakau (HBT) di akhir bulan Mei ini, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Mapanza Universitas Airlangga mengadakan Seminar HBT. Seminar yang berlangsung selama dua jam ini mengangkat tema “Apa Sich Enaknya Merokok” dan dihadiri oleh perwakilan dari setiap Fakultas Unair dan perwakilan dari UKM Unair.
Bertempat di lantai tiga ruang Abraham Maslow, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, seminar ini dibawakan oleh dua orang narasumber yang kerap memerangi dan membatasi tersebarnya asap rokok di sembarang tempat, termasuk juga memberikan andil dalam terbentuknya Perda KTM-KTR No.5 tahun 2008 di Kota Surabaya, mereka adalah dr. Santi Martini M.Kes dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Unair dan Priyono Adi Nugroho dari Lembaga Perlindungan Anak (LPA).
“Satu batang rokok mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, 40 diantaranya bersifat karsinogen yang menyebabkan Kanker,” tutur dr. Santi kepada para mahasiswa dan mahasiswi Unair yang datang sebagai undangan. 
Salah satu zat yang begitu dikenal oleh orang-orang yang terkandung dalam rokok adalah nikotin. Bukan rahasia lagi bahwa nikotin menyebabkan kecanduan bagi siapa saja yang menghirupnya atau mengkonsumsinya. “Nikotin sifatnya sangat adiktif, lebih daripada heroin, kokain, ataupun alkohol,” tutur dokter yang mengenakan kacamata itu. Hal itu karena nikotin menyebabkan efek langsung ke otak selama kurang dari 10 detik. 
Ia juga menekankan bahwa nikotin dapat dengan sangat mudah meresap ke tubuh melalui mulut, hidung, dan kulit tanpa harus dibakar. ”Jadi kalau kalian tempel-tempelkan rokok ke mulut saja tanpa dibakar, itu (nikotin, Red) sudah dapat meresap ke tubuh,” lanjutnya.
Sehingga hal tersebut dapat juga membahayakan petani tembakau dimana dalam kesehariannya mereka harus bersentuhan langsung dengan tanaman tembakau yang sarat akan kandungan nikotin.
Selain itu tidak ada kadar yang aman dalam penggunaan nikotin, sehingga serendah apapun kadar nikotin yang terkandung dalam suatu rokok dapat menyebabkan ketagihan. Hal tersebut dipertegas pula oleh Priyono Adi Nugroho bahwa serendah apa pun kadarnya tetap berdampak. ”Seperti contohnya yang baru-baru ini sisha, walau kadar nikotinnya hanya 0,05% saja, nikotin tetap berbahaya,” tutur Pri, panggilan akrabnya, yang juga pernah bergelut dengan kebiasaan merokok dan akhirnya berhenti.
Nikotin menyebabkan produksi adrenalin meningkat, darah lebih cepat membeku sehingga berisiko tinggi terhadap serangan jantung. Sudah begitu jelas kerugian dari merokok terutama dari segi kesehatan. Dari segi ekonomi dr. Santi mengakui bahwa sebenarnya biaya untuk membelanjakan rokok jika dikalukulasikan dapat lebih tinggi dibanding keperluan sehari-hari termasuk juga keperluan pendidikan. 
Selain itu kerugian merokok dirasakan juga dari segi lingkungan, terutama menyangkut asap yang disebabkan oleh rokok. Pada sebatang rokok yang dibakar, 25% asap dihirup oleh pengguna, 75%nya terdapat di udara bebas, lalu ketika pengguna menghembuskan asap rokok maka sebanyak 12,5% asap berada di udara bebas. Ini berarti kurang lebih 90% asap rokok memenuhi udara bebas, sehingga dalam hal ini yang paling terancam tentu saja orang-orang yang berada di sekitar pengguna rokok, atau biasa disebut dengan perokok pasif.
Seperti yang dituturkan oleh dr. Santi, maka dari itu dikeluarkan lah peraturan yang mentertibkan perokok pasif, salah satunya untuk melindungi perokok pasif karena memiliki udara bersih adalah hak setiap orang. Ia juga mensosialisasikan Perda KTR-KTM yang telah dimiliki oleh Kota Surabaya kepada para peserta.
Salah satu peserta seminar, Lukman Hakim (20) menyetujui dengan adanya peraturan untuk mendisiplinkan asap rokok. ”Zat-zatnya banyak sekali yang beracun,” tukasnya. Ia mengaku pernah sekali mencoba merokok ketika lulus SMU. Karena begitu senangnya lulus SMU itu Ia mencoba untuk merokok, alhasil tubuhnya biru semua. ”Sejak saat itu saya kapok merokok, ditawarin sampai mati pun saya tidak mau merokok,” tegas mahasiswa Fakultas Psikologi Unair ini.
Ia juga kerap mengingatkan teman-teman atau orang yang ada di sekitarnya mengenai bahaya rokok, namun ia mengungkapkan hal itu tidak begitu mudah dilakukan.
Terlalu banyak efek negatif yang disebabkan oleh rokok atau tembakau, lalu mengapa dari sekian banyak alasan orang-orang tetap saja mengisi luang waktunya dengan meokok? Seperti yang dikatakan oleh Pri mengutip perkataan Phillip Morris bahwa alasan orang merokok adalah to relax, for the taste, something to do with hands, but for the most part, people continue to smoke because they find it too difficult to quit. Rokok sebabkan candu sehingga lebih baik tidak sama sekali atau rokok yang memilih untuk merusak tubuh Anda.(fie)

29 Mei 2009

Temu Kader Posyandu Tahun 2009

Hari ini, Ibu Negara Hj. Ani Bambang Yudhoyono didampingi Menkes Siti Fadilah Supari membuka acara Temu Kader Menuju Pemantapan Posyandu Tahun 2009 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta. Pertemuan ini diikuti 900 kader Posyandu dan Tim Penggerak PKK dari 33 Provinsi dan 440 Kabupaten/ Kota. Mereka akan menerima pembekalan dan pendalaman selama 3 hari (28 – 30 Mei) mengenai materi-materi yang berkaitan dengan tema “Kader Posyandu Mewujudkan Keluarga Sehat”.


Dalam laporannya Menkes Siti Fadilah menyampaikan, pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja Posyandu dan keterampilan teknis kader dalam memberdayakan keluarga. Diharapkan, keluarga akan mampu memelihara kesehatan ibu dan anak termasuk imunisasi, keluarga berencana, penanganan diare, keluarga sadar gizi, serta perilaku hidup bersih dan sehat.
Sehingga, melalui temu kader tingkat nasional ini lebih memantapkan jejaring dalam pembinaan kader oleh Tim Pembina Posyandu Kabupaten dan Kota, jelas Menkes.

Selain kader Posyandu dan Tim Penggerak PKK, acara ini juga dihadiri Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Posyandu Pusat yang berasal dari departemen teknis pembina Posyandu. Hadir pula Mendagri Mardiyanto selaku Ketua Dewan Penyantun Posyandu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo beserta istri, Ketua Umum Tim Penggerak PKK Effi Mardiyanto, serta pejabat dari Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri.

Menurut Menkes, berbagai upaya terobosan dan program prioritas yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin, penanggulangan penyakit menular dan prevalensi gizi kurang, telah memperlihatkan hasil yang cukup bermakna.

“Keberhasilan program pembangunan kesehatan dapat dilihat dari turunnya angka kematian ibu (AKI) dari 307 tahun 2004 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2007, turunnya angka kematian bayi (AKB) dari 35 pada tahun 2004 menjadi 26,9 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Serta turunnya prevalensi gizi kurang dari 23,2% pada tahun 2003 menjadi 18,4% tahun 2007”, papar Menkes.

Sejak diperkenalkan tahun 1980-an, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) diakui memberikan kontribusi yang besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan dan gizi. Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dari, oleh dan untuk masyarakat. Sasaran utamanya adalah mempercepat upaya penurunan AKI dan AKB dengan prioritas pelayanan terdiri dari pelayanan KIA, Gizi, KB, Imunisasi dan penanggulangan diare.

Posyandu juga merupakan tempat pelayanan kesehatan dasar lain seperti tempat pemberian kapsul vitamin A, tablet besi, tempat pelayanan imunisasi dasar, dan lainnya. Di beberapa daerah, Posyandu bahkan telah diintegrasikan dengan pelayanan lain seperti pelayanan tumbuh kembang anak.

Posyandu terus berkembang pesat, baik jumlah maupun kualitasnya. Pada tahun 2008 tercatat sebanyak 267 ribu Posyandu tersebar di lebih dari 70 ribu desa di seluruh Indonesia.

Kinerja Posyandu sempat mengalami penurunan pada awal 2000-an sebagai akibat krisis multi-dimensi yang berkepanjangan. Hal ini diketahui dari adanya laporan gizi buruk dari berbagai wilayah tanah air. Penurunan dirasakan menyusul kurangnya keterampilan kader, tidak adanya dukungan operasional Posyandu, sarana dan prasarana yang tidak cukup serta lemahnya pembinaan.

Menyadari peran strategis Posyandu, tahun 2005 dilakukan revitalisasi secara nyata meliputi penyediaan biaya operasional Posyandu, latihan ulang kader, penyediaan sarana pendukung dan pembinaan. Secara lintas sektor juga dilaksanakan pemantapan Pokjanal Posyandu dan Jambore Kader yang rutin diadakan setiap tahun.

“Revitalisasi Posyandu dan pembentukan Desa Siaga telah berhasil meningkatkan jumlah Posyandu dari 232.000 menjadi 267.000. Begitu pula dengan jumlah Balita ditimbang di Posyandu meningkat dari 43% menjadi 74,5%, tambah Menkes.

Keberhasilan Posyandu sangat ditentukan oleh kinerja kader yang juga merupakan kader PKK serta pembinaan yang dilakukan oleh TP PKK khususnya TP PKK Kabupaten/Kota.

Dalam acara Temu Kader Menuju Pemantapan Posyandu Tahun 2009, para kader akan mendapatkan pembekalan dari Menteri Kesehatan dan pendalaman materi oleh tim dengan topik Inisiasi Menyui Dini (IMD) dan ASI Eksklusif, Pemantauan Pertumbuhan termasuk mengisi KMS, serta Pembinaan PHBS, dan Kesehatan Ibu dan Anak di Rumah Tangga. Dalam kesempatan ini, para kader juga berkesempatan melakukan dialog dengan Ibu Negara H. Ani Bambang Yudhoyono.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-52907416-9 dan 52921669, atau e-mail puskom.depkes@gmail.com dan puskom.publik@yahoo.co.id.

Sumber: Depkes

Belum Ada Izin untuk Dokter Asing di Indonesia



Bukan Siti Fadhilah jika tidak kental dengan nuansa nasionalismenya. Hal-hal yang serba asing selalu disikapinya dengan sangat hati-hati, tak terkecuali tenaga medis asing. Seperti diberitakan oleh Kompas.com, hingga saat ini, Departemen Kesehatan belum pernah menerima atau pun mengeluarkan izin praktik untuk dokter asing yang membuka praktik secara individu.

"Kalau ditemukan ada yang membuka praktik individu, maka dokter asing tersebut berarti telah membuka praktik ilegal dan harus secepatnya dikenai sanksi tegas, dideportasi dari Indonesia," ujar Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, saat ditemui di sela-sela acara peresmian 27 desa siaga dan tujuh gedung pos kesehatan desa di Balai Desa Pucungrejo, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang, Kamis (28/5).

Saat ini, dokter asing yang ada di Indonesia biasanya berpraktik di rumah sakit asing. Izin praktik dokter-dokter yang ada di dalamnya biasanya langsung diajukan oleh rumah sakit yang bersangkutan. (foto:image.detik.com)

Waspada Bencana, Depkes Gelar Pelatihan Evakuasi Korban Banjir


Sedia payung sebelum hujan. Seperti itulah tampaknya ynag ingin diperbuat oleh Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Departemen Kesehatan RI. Meski bulan ini bisa dikatakan awal dari musim kemarau dan jauh dari musim hujan, namun PPK Depkes pada tanggal 28-31 Mei 2009, melaksanakan kegiatan Peningkatan Kemampuan Sumber Daya Manusia Dalam Penggunaan Sarana Evakuasi Korban Bencana di Perairan. Pelatihan digelar di Sanur Bali.

Kegiatan ini dibuka secara resmi oleh Kepala Pusat Penanggulangan Krisis, Rustam Pakaya.. Tujuan dari kegiatan ini adalah (1) Meningkatkan kemampuan petugas dalam memberikan bantuan hidup dasar dan pertolongan bagi korban bencana, khususnya kerban bencana di perairan, (2) Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam menyiapkan dan menggunakan perahu karet dengan dayung maupun dengan mesin tempel, pada saat bencana banjir, (3) Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam perawatan peralatan perahu karet dan perlengkapannya sehingga dapat menunjang kesiapsiagaan penanggulangan bencana banjir, (4) Meningkatkan kemampuan petugas kesehatan dalam mengevakuasi korban bencana di perairan.
Materi-materi yang disajikan dalam pelatihan ini, antara lain:
1. Filosofi SAR
2. Overview Penanggulangan Bencana
3. Bantuan Hidup Dasar (Teori dan Praktek)
4. Pengenalan Perahu Karet, Perakitan dan Pembongkaran
5. Teknik Mengangkat dan Membawa Perahu Karet
6. Teknik Mendayung
7. Pengenalan Motor Tempel
8. Teknik Mengangkat, Membawa dan Memasang Motor Tempel
9. Teknik Penyimpanan dan Perawatan Motor Tempel
10. Teknik Evakuasi Korban Bencana di Perairan
11. Teknik Ring Boy
12. Teknik mendayung di air.
13. Teknik mengemudikan perahu karet dengan menggunakan motor temple
14. Teknik Mencuci dan Melipat Perahu Karet
Metode pengajaran yang digunakan selama kegiatan menggunakan metode ceramah (kelas), demonstrasi, drilling (praktik lapangan). Pendekatan pembelajaran dengan metode "adult training". Interaksi belajar mengajar berjalan dua arah (two way communication) yang memungkinkan peserta didik dan instruktur bisa saling tukar informasi satu dengan lainnya.
Peserta serta narasumber kegiatan Peningkatan Kemampuan Sumber Daya Manusia Dalam Penggunaan Sarana Evakuasi Korban Bencana di Perairan tahun ini sebanyak 56 orang, yang terdiri atas:
1. Dinas Kesehatan Provinsi sebanyak 3 orang
2. Rumah Sakit sebanyak 2 orang
3. Badan SAR Nasional sebanyak 3 orang
4. Badan SAR Provinsi sebanyak 5 orang
5. PMI Provinsi sebanyak 1 orang
6. KKP sebanyak 1 orang
7. Unit Utama Depkes sebanyak 11 orang
8. Perwakilan WHO sebanyak 1 orang
9. PPK Depkes sebanyak 29 orang
(sumber : www.ppk-depkes.org)

900 Pegiat Posyandu Bertemu Ibu Ani

Hari ini, Ibu Negara Hj. Ani Bambang Yudhoyono didampingi Menkes Siti Fadilah Supari membuka acara Temu Kader Menuju Pemantapan Posyandu Tahun 2009 di Hotel Mercure Ancol, Jakarta. Pertemuan ini diikuti 900 kader Posyandu dan Tim Penggerak PKK dari 33 Provinsi dan 440 Kabupaten/ Kota. Mereka akan menerima pembekalan dan pendalaman selama 3 hari (28 – 30 Mei) mengenai materi-materi yang berkaitan dengan tema “Kader Posyandu Mewujudkan Keluarga Sehat”.

Dalam laporannya Menkes Siti Fadilah menyampaikan, pertemuan ini bertujuan untuk meningkatkan kinerja Posyandu dan keterampilan teknis kader dalam memberdayakan keluarga. Diharapkan, keluarga akan mampu memelihara kesehatan ibu dan anak termasuk imunisasi, keluarga berencana, penanganan diare, keluarga sadar gizi, serta perilaku hidup bersih dan sehat.
Sehingga, melalui temu kader tingkat nasional ini lebih memantapkan jejaring dalam pembinaan kader oleh Tim Pembina Posyandu Kabupaten dan Kota, jelas Menkes.

Selain kader Posyandu dan Tim Penggerak PKK, acara ini juga dihadiri Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) Posyandu Pusat yang berasal dari departemen teknis pembina Posyandu. Hadir pula Mendagri Mardiyanto selaku Ketua Dewan Penyantun Posyandu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo beserta istri, Ketua Umum Tim Penggerak PKK Effi Mardiyanto, serta pejabat dari Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri.

Menurut Menkes, berbagai upaya terobosan dan program prioritas yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan bagi rakyat miskin, penanggulangan penyakit menular dan prevalensi gizi kurang, telah memperlihatkan hasil yang cukup bermakna.

“Keberhasilan program pembangunan kesehatan dapat dilihat dari turunnya angka kematian ibu (AKI) dari 307 tahun 2004 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2007, turunnya angka kematian bayi (AKB) dari 35 pada tahun 2004 menjadi 26,9 per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 2007. Serta turunnya prevalensi gizi kurang dari 23,2% pada tahun 2003 menjadi 18,4% tahun 2007”, papar Menkes.

Sejak diperkenalkan tahun 1980-an, Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) diakui memberikan kontribusi yang besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan dan gizi. Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dari, oleh dan untuk masyarakat. Sasaran utamanya adalah mempercepat upaya penurunan AKI dan AKB dengan prioritas pelayanan terdiri dari pelayanan KIA, Gizi, KB, Imunisasi dan penanggulangan diare.

Posyandu juga merupakan tempat pelayanan kesehatan dasar lain seperti tempat pemberian kapsul vitamin A, tablet besi, tempat pelayanan imunisasi dasar, dan lainnya. Di beberapa daerah, Posyandu bahkan telah diintegrasikan dengan pelayanan lain seperti pelayanan tumbuh kembang anak.

Posyandu terus berkembang pesat, baik jumlah maupun kualitasnya. Pada tahun 2008 tercatat sebanyak 267 ribu Posyandu tersebar di lebih dari 70 ribu desa di seluruh Indonesia.

Kinerja Posyandu sempat mengalami penurunan pada awal 2000-an sebagai akibat krisis multi-dimensi yang berkepanjangan. Hal ini diketahui dari adanya laporan gizi buruk dari berbagai wilayah tanah air. Penurunan dirasakan menyusul kurangnya keterampilan kader, tidak adanya dukungan operasional Posyandu, sarana dan prasarana yang tidak cukup serta lemahnya pembinaan.

Menyadari peran strategis Posyandu, tahun 2005 dilakukan revitalisasi secara nyata meliputi penyediaan biaya operasional Posyandu, latihan ulang kader, penyediaan sarana pendukung dan pembinaan. Secara lintas sektor juga dilaksanakan pemantapan Pokjanal Posyandu dan Jambore Kader yang rutin diadakan setiap tahun.

“Revitalisasi Posyandu dan pembentukan Desa Siaga telah berhasil meningkatkan jumlah Posyandu dari 232.000 menjadi 267.000. Begitu pula dengan jumlah Balita ditimbang di Posyandu meningkat dari 43% menjadi 74,5%, tambah Menkes.

Keberhasilan Posyandu sangat ditentukan oleh kinerja kader yang juga merupakan kader PKK serta pembinaan yang dilakukan oleh TP PKK khususnya TP PKK Kabupaten/Kota.

Dalam acara Temu Kader Menuju Pemantapan Posyandu Tahun 2009, para kader akan mendapatkan pembekalan dari Menteri Kesehatan dan pendalaman materi oleh tim dengan topik Inisiasi Menyui Dini (IMD) dan ASI Eksklusif, Pemantauan Pertumbuhan termasuk mengisi KMS, serta Pembinaan PHBS, dan Kesehatan Ibu dan Anak di Rumah Tangga. Dalam kesempatan ini, para kader juga berkesempatan melakukan dialog dengan Ibu Negara H. Ani Bambang Yudhoyono. (sumber utama: depkes.go.id)

Buku Menkes 'Saatnya Dunia Berubah' akan Difilmkan

Jakarta - Saatnya Dunia Berubah. Itulah judul buku yang ditulis Menkes Siti Fadilah Supari, yang menjadi terkenal karena mengecam ketidakadilan virus sharing flu burung. Buku tersebut akan dibuat film layar lebar. "Ini adalah film layar lebar untuk festival yang juga bisa dijual," kata penggagas film tersebut, Shohibul Faroji, dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (29/5/2008). Awalnya, Shohibul tertarik dengan berita-berita di media massa soal keberadaan Laboratorium Namru-2 milik AS di Indonesia. Lalu dirinya mengirim SMS ke Menkes menanyakan hal tersebut.

"Waktu saya SMS, Bu Menkes mengatakan, soal Namru itu hak Presiden (untuk menjawab). Lalu saya katakan rencana memfilmkan bukunya, dan ternyata disambut baik," kata pria yang juga dosen di Universitas Paramadina dan Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) Jakarta ini.

Dalam waktu yang cukup singkat, Shohibul membuat script dan proposal. Lalu pada 25 Mei 2008, Menkes menerima dia di kantornya.

"Kami tengah mencari investor. Dan pendananya semua akan dari dalam negeri. Ada juga dari luar negeri yang sudah menawarkan, tapi kami tolak. Kami tidak mau menggadaikan nasionalisme. Ini adalah film rakyat pinggiran," sambungnya.
Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung merupakan buku yang ditulis oleh Menteri Kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K). Sejak terbitnya, buku ini menjadi pembicaraan di berbagai media internasional, karena buku ini dianggap membongkar konspirasi pihak barat terhadap sampel virus flu burung.

Diluncurkan pada Minggu, 6 Januari 2008 di Jakarta, buku ini membuat banyak pihak kebakaran jenggot. Dalam bukunya ini Siti Fadilah membuka kedok World Health Organization (WHO) yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang ternyata banyak merugikan negara miskin dan berkembang asal virus tersebut.
Buku ini terbit pula dalam bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change.
Berikut adalah sebagian kutipan dari apa yang tertulis di buku tersebut.

Namun ironisnya pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri, negara maju, negara kaya yang tidak mempunyai kasus flu burung pada manusia. Dan kemudian vaksin itu dijual ke seluruh dunia juga akan dijual ke negara kita. Tetapi tanpa sepengetahuan apalagi kompensasi untuk si pengirim virus, yaitu saudara kita yang ada di Vietnam.
Mengapa begini? Jiwa kedaulatan saya terusik. Seolah saya melihat ke belakang, ada bayang-bayang penjajah dengan semena-mena merampas padi yang menguning, karena kita hanya bisa menumbuk padi menggunakan lesung, sedangkan sang penjajah punya mesin sleyp padi yang modern. Seolah saya melihat penjajah menyedot minyak bumi di Tanah Air kita seenaknya, karena kita tidak menguasai teknologi dan tidak memiliki uang untuk mengolahnya. Inikah yang disebut neo-kolonialisme yang diramal oleh Bung Karno 50 tahun yang lalu? Ketidak-berdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain? Demikian jugakah pengiriman virus influenza di WHO yang sudah berlangsung selama 50 tahun, dengan dalih oleh karena adanya GISN (Global Influenza Surveillance Network). Saya tidak mengerti siapa yang mendirikan GISN yang sangat berkuasa tersebut sehingga negara-negara penderita Flu Burung tampak tidak berdaya menjalani ketentuan yang digariskan oleh WHO melalui GISN dan harus patuh meskipun ada ketidak-adilan?

28 Mei 2009

Resolusi World Health Assembly Ke-62 Sepakat Lanjutkan Bahas Virus Sharing

Perjuangan Indonesia pada World Health Assembly (WHA) ke-62 di Jenewa pada tanggal 18-22 Mei 2009 yang lalu memperoleh kemajuan yang signifikan karena membawa dunia semakin dekat pada mekanisme baru virus sharing yang adil, transparan dan setara serta mengintegrasikan benefit sharing dengan dilahirkannya resolusi untuk menfinalisasi “Kerangka Kesiapan Pandemi Influenza : Berbagi Virus dan Akses Terhadap Vaksin dan Manfaat Lainnya”. Demikian disampaikan oleh Menteri Kesehatan RI Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp. JP (K) pada jumpa pers tentang hasil Sidang WHA ke-62 di Ruang Leimena Departemen Kesehatan, Jakarta tanggal 25 Mei 2009.


Resolusi yang dipelopori Indonesia ini mendapat dukungan luas dari negara-negara berkembang seperti Argentina, Bangladesh, Bhutan, Brazil, Cili, Kuba – mewakili negara anggota Gerakan Non-Blok, Ghana – mewakili daerah Afrika, Guatemala, India, Iran, Maldives, Myanmar, Nigeria, Sri Lanka, Timor Leste dan Venezuela. Selain itu LSM-LSM Internasional juga memberikan apresiasinya atas kegigihan perjuangan Indonesia karena resolusi ini merupakan pencapaian mulia dalam dunia kesehatan dan pengobatan serta mencerminkan tekad negara anggota WHO untuk memberlakukan mekanisme baru virus sharing dan benefit sharing yang transparan, adil dan setara.
Lebih lanjut lagi, resolusi ini meminta Direktur Jenderal WHO untuk mengusung butir-butir tentang kerangka kesiapan pandemic influenza yang telah disepakati dan memfasilitasi proses untuk finalisasi hal-hal yang belum disepakati, termasuk benefit sharing dalam Standard Material Transfer Agreement (SMTA) yang formal, transparan dan berimbang antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Hasil dari finalisasi tersebut harus dilaporkan pada sidang Executive Board WHO ke-126 pada Januari 2010.

Menkes yang dalam acara tersebut ditunjuk menjadi Wakil Ketua 1 Executive Board WHO hingga sidang WHA Mei 2010 mengatakan bahwa secara konsensus sudah dicapai kesepakatan yang berkaitan dengan benefit sharing, misalnya pada kasus dimana kita mengirimkan virus maka kita nanti akan berhak untuk menjadi kandidat penerima vaksin virus dimana dalam sistem yang lama hal itu sama sekali tidak pernah terjadi. Menkes juga menyatakan bahwa Indonesia siap untuk mengirimkan lagi sampel virus flu burung apabila sistem baru virus sharing yang adil, transparan dan setara telah diberlakukan oleh WHO.

Menambahkan penjelasan dari Menkes, Dr. Makarim Wibisono yang merupakan anggota delegasi Indonesia mengatakan resolusi World Health Assembly meminta kepada Direktur Jenderal WHO untuk melakukan konsultasi atau proses finalisasi dari pembahasan masalah virus sharing dituntaskan pada bulan Januari 2010. Lebih lanjut dikatakan apabila terjadi pandemi maka negara-negara berkembang yang terkena atau affected country akan mendapatkan 50 juta dosis dari international stock yang akan dibentuk oleh WHO dan 100 juta dosis lagi akan dibagikan kepada negara-negara berkembang lainnya. Apabila ternyata masih kurang maka akan ada usaha dari WHO untuk meminta kepada pabrik-pabrik pembuat vaksin mapun antiviral itu untuk menyisihkan sebagian dari produksinya bagi kepentingan negara-negara berkembang.

Menjawab pertanyaan wartawan mengenai pertemuan dengan delegasi Amerika Serikat, Dr. Makarim mengatakan bahwa Menkes RI mengadakan pertemuan bilateral dengan Menteri Kesehatan Amerika Serikat. Dalam pertemuan itu telah dicapai semacam saling pengertian mengenai SMTA. Dalam kesempatan itu Menteri Kesehatan Amerika Serikat mengundang Menkes RI untuk berkunjung ke Washington guna membicarakan kerjasama yang lebih baik antara Indonesia dan Amerika Serikat.

Pada sidang WHA tersebut delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Kesehatan RI, dengan anggota utama Dr. Makarim Wibisono, Diplomat Senior Deplu; Prof. dr. Tjandra Adiyoga Aditama, Sp. P (K), MARS, Dirjen P2PL; Prof. Dr. dr. Agus Purwadianto, Sp. F (K), Kepala Badan Litbangkes, serta Dr. Widjaja Lukito, Ph.D, Sp. GK, Staf Khusus Menkes Bidang Kesehatan Publik.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-52907416-9 dan 52921669, atau e-mail puskom.depkes@gmail.com dan puskom.publik@yahoo.co.id.

Sumber: Depkes

27 Mei 2009

Standar dan Prosedur Cuci Tangan Dengan Benar

Mencuci tangan dengan air dan sabun akan banyak mengurangi jumlah mikroorganisma dari kulit dan tangan.

Mencuci Tangan sebaiknya dilakukan, sebelum :
  1. Memeriksa pasien
  2. Memakai atau sesudah sarung tangan

Terjadi kontaminasi pada tangan seperti : 
  1. Memegang instrumen dan item lain yang kotor
  2. Menyentuh selaput lendir, darah atau cairan tubuh lain (sekresi dan ekskresi)
  3. Terjadi kontak lama dan intensif dengan pasien
Setelah melepas sarung tangan Pada daerah triase / penapisan di fasilitas pelayanan, perlu disediakan paling tidak:
  1. Sabun (batang atau cair, yang antiseptik atau bukan)
  2. Wadah sabun yang berlubang supaya air bisa terbuang keluar
  3. Air mengalir (pipa, atau ember dengan keran) dan wastafel
  4. Handuk/lap sekali pakai (kertas, atau kain yang dicuci setelah sekali pakai)
Langkah-langkah cuci tangan rutin adalah :


LANGKAH 1: Basahi tangan seluruhnya
LANGKAH 2: Pakai sabun (sabun biasapun cukup memadai)
LANGKAH 3: Gosok benar-benar semua bagian tangan dan jari selama 10-15 detik, terutama untuk membersihkan bagian-bagian bawah kuku, antara jari, dan punggung tangan.
LANGKAH 4: Bilas tangan dengan air bersih mengalir.
LANGKAH 5:Keringkan tangan dengan handuk (lap) kertas dan gunakan handuk untuk menutup keran. Bila handuk tidak tersedia, keringkan dengan udara/dianginkan.


Panduan tambahan untuk cuci tangan:

Bila kulit lecet atau perlu sering-sering cuci tangan karena banyak kasus, bisa dipakai sabun lunak (tanpa antiseptik) untuk mengangkat kotoran. Krim dan lotion pelembab bisa dipakai untuk menghindari iritasi kulit.
Bila diperlukan antimikroba (a.l. kontak dengan pasien suspek SARS), dan bila tangan tampak tidak kotor, maka sebagai altrernatif bisa dipakai antiseptik gel setelah kontak.

MEMBUAT LARUTAN GEL ALKOHOL UNTUK ANTISEPTIK TANGAN

Untuk 100 ml gel tangan
100 ml Alkohol Isopropil atau etil 60-90%
2 ml Gliserin, propylene glycol atau sorbitol
Memakai antiseptik tangan:
Tuangkan gel secukupnya untuk membasahi seluruh permukaan tangan dan jari.
Gosok benar-benar pada tangan, diantara jari, dan bawah kuku sampai kering

26 Mei 2009

Kampanye Edukasi "Ayo Periksa, Sembuhkan Segera" Untuk Tanggulangi Hepatitis Di Indonesia

Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Perhimpunan Penelitian Hati Indonesia (PPHI), Blitz Megaplex, Gold Gym dan Roche Indonesia, hari ini memperingati Hari Hepatitis Sedunia 2009 dengan melakukan kegiatan peningkatan kesadaran masyarakat, pemeriksaan, perawatan dan pengobatan Hepatitis C.
Menkes RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) dalam sambutan yang dibacakan dr. Rachmi Untoro, MPH Staf Ahli Menkes Bidang Mediko Legal pada peluncuran program kegiatan berbasis edukasi melalui kampanye ” Ayo Periksa, Sembuhkan Segera ” di Jakarta (19/05, 2009), mengatakan sekitar 7 juta orang Indonesia hidup dengan Hepatitis C kronik, dan diperkirakan terdapat ribuan infeksi baru muncul setiap tahunnya. Untuk mengatasi hal ini diperlukan kemitraan yang baik antara pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan, organisasi profesi kesehatan, LSM peduli Hepatitis C dan dunia usaha. 
Menkes menambahkan, penyakit Hepatitis C sampai saat ini belum ada vaksin untuk pencegahannya. Sebagai langkah awal, sejak tanggal 1 Oktober 2007 pemerintah bekerja sama dengan PT. Roche Indonesia telah mengumpulkan data Hepatitis C di 21 provinsi dengan melibatkan unit transfusi darah, rumah sakit dan laboratorium. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melihat besaran penyakit Hepatitis di Indonesia. Dari data yang telah didapatkan ternyata penderita Hepatitis C di Indonesia cukup banyak. 
Hal ini merupakan masalah kesehatan karena penyakit ini menular melalui kontak dengan darah penderita sehingga penularan yang terjadi dikhawatirkan akan terus bertambah. Selain itu kesakitan baru muncul sekitar 10 sampai 30 tahun sehingga seseorang seringkali baru mengetahui tubuhnya terinfeksi setelah berada dalam keadaan sirosis lanjut dengan beberapa komplikasi, seperti bengkak, muntah darah, dan penurunan kesadaran.
Untuk itu marilah kita jadikan peringatan Hari Hepatitis Sedunia ini sebagai langkah awal untuk peningkatan kesadaran masyarakat dalam mengetahui secara dini kondisi kesehatannya, khususnya kesehatan hati dan bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mencegah agar tidak menderita penyakit ini. 
Ketua PPHI, dr. Unggul Budihusodo Sp.PD. KGEH, menambahkan, pesan yang disampaikan melalui kampanye tersebut penting untuk diketahui secara luas. Pemahaman bahwa siapapun beresiko terkena dan kesadaran untuk memeriksakan diri secara mandiri tidak saja penting untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut, tetapi juga meningkatkan peluang keberhasilan pengobatan penyakit Hepatitis C. 
Hepatitis C kronik merupakan peradangan hati yang berjalan menahun dan disebabkan oleh virus Hepatitis C yang menyebabkan kerusakan sel hati yang berlanjut menjadi sirosis (pengerasan hati), gagal hati serta kanker hati yang berujung pada kematian. Kemajuan pengobatan telah memberikan peluang besar bagi mereka yang terinfeksi untuk sembuh. Peran dokter umum sangat penting dalam upaya diagnosis dini sehingga pembekalan yang memadai untuk mereka akan sangat membantu menemukan penyakit dan menyelamatkan hidup pasien, tegas dr. Unggul.
Seseorang yang tertular pada masa dewasa kemungkinan menjadi kronik sebesar 80% berbeda dengan Hepatitis B yang akan menjadi kronik hanya kurang dari 10%. Jadi memang kronisitas menjadi sifat dari Hepatitis C. Semua orang berisiko untuk tertular virus Hepatitis C. Selain melalui transfusi darah, virus ini dapat menular melalui hubungan seks yang tidak aman, tato, tindik dan injeksi. Hepatitis C kronik dikenal sebagai “silent killer” karena sekitar 90% kasus hampir tidak bergejala. Situasi ini meningkatkan risiko penularan Hepatitis C yang tidak disadari oleh pembawa virus, ungkap dr. Unggul. 
Ditambahkan Dr. Ait Allah Mejri, General Manager PT. Roche Indonesia, masih panjang perjalanan yang harus dilalui untuk bisa mengatasi masalah Hepatitis C, terutama dalam hal pencegahan, penapisan, perbaikan akses terhadap pengobatan dan perawatan terkoordinir bagi mereka yang terkena penyakit hati tahap lanjut akibat Hepatitis C. Oleh sebab itu diperlukan partisipasi dari masyarakat luas untuk bersama-sama menanggulangi penyakit Hepatitis di seluruh dunia. 
Berita ini saya baca dari website depkes yang disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. 

25 Mei 2009

Kampanye Edukasi "Ayo Periksa, Sembuhkan Segera" Untuk Tanggulangi Hepatitis Di Indonesia

Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Perhimpunan Penelitian Hati Indonesia (PPHI), Blitz Megaplex, Gold Gym dan Roche Indonesia, hari ini memperingati Hari Hepatitis Sedunia 2009 dengan melakukan kegiatan peningkatan kesadaran masyarakat, pemeriksaan, perawatan dan pengobatan Hepatitis C.


Menkes RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) dalam sambutan yang dibacakan dr. Rachmi Untoro, MPH Staf Ahli Menkes Bidang Mediko Legal pada peluncuran program kegiatan berbasis edukasi melalui kampanye ” Ayo Periksa, Sembuhkan Segera ” di Jakarta (19/05, 2009), mengatakan sekitar 7 juta orang Indonesia hidup dengan Hepatitis C kronik, dan diperkirakan terdapat ribuan infeksi baru muncul setiap tahunnya. Untuk mengatasi hal ini diperlukan kemitraan yang baik antara pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan, organisasi profesi kesehatan, LSM peduli Hepatitis C dan dunia usaha.

Menkes menambahkan, penyakit Hepatitis C sampai saat ini belum ada vaksin untuk pencegahannya. Sebagai langkah awal, sejak tanggal 1 Oktober 2007 pemerintah bekerja sama dengan PT. Roche Indonesia telah mengumpulkan data Hepatitis C di 21 provinsi dengan melibatkan unit transfusi darah, rumah sakit dan laboratorium. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melihat besaran penyakit Hepatitis di Indonesia. Dari data yang telah didapatkan ternyata penderita Hepatitis C di Indonesia cukup banyak.

Hal ini merupakan masalah kesehatan karena penyakit ini menular melalui kontak dengan darah penderita sehingga penularan yang terjadi dikhawatirkan akan terus bertambah. Selain itu kesakitan baru muncul sekitar 10 sampai 30 tahun sehingga seseorang seringkali baru mengetahui tubuhnya terinfeksi setelah berada dalam keadaan sirosis lanjut dengan beberapa komplikasi, seperti bengkak, muntah darah, dan penurunan kesadaran.

Untuk itu marilah kita jadikan peringatan Hari Hepatitis Sedunia ini sebagai langkah awal untuk peningkatan kesadaran masyarakat dalam mengetahui secara dini kondisi kesehatannya, khususnya kesehatan hati dan bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mencegah agar tidak menderita penyakit ini.

Ketua PPHI, dr. Unggul Budihusodo Sp.PD. KGEH, menambahkan, pesan yang disampaikan melalui kampanye tersebut penting untuk diketahui secara luas. Pemahaman bahwa siapapun beresiko terkena dan kesadaran untuk memeriksakan diri secara mandiri tidak saja penting untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut, tetapi juga meningkatkan peluang keberhasilan pengobatan penyakit Hepatitis C.

Hepatitis C kronik merupakan peradangan hati yang berjalan menahun dan disebabkan oleh virus Hepatitis C yang menyebabkan kerusakan sel hati yang berlanjut menjadi sirosis (pengerasan hati), gagal hati serta kanker hati yang berujung pada kematian. Kemajuan pengobatan telah memberikan peluang besar bagi mereka yang terinfeksi untuk sembuh. Peran dokter umum sangat penting dalam upaya diagnosis dini sehingga pembekalan yang memadai untuk mereka akan sangat membantu menemukan penyakit dan menyelamatkan hidup pasien, tegas dr. Unggul.

Seseorang yang tertular pada masa dewasa kemungkinan menjadi kronik sebesar 80% berbeda dengan Hepatitis B yang akan menjadi kronik hanya kurang dari 10%. Jadi memang kronisitas menjadi sifat dari Hepatitis C. Semua orang berisiko untuk tertular virus Hepatitis C. Selain melalui transfusi darah, virus ini dapat menular melalui hubungan seks yang tidak aman, tato, tindik dan injeksi. Hepatitis C kronik dikenal sebagai “silent killer” karena sekitar 90% kasus hampir tidak bergejala. Situasi ini meningkatkan risiko penularan Hepatitis C yang tidak disadari oleh pembawa virus, ungkap dr. Unggul.

Ditambahkan Dr. Ait Allah Mejri, General Manager PT. Roche Indonesia, masih panjang perjalanan yang harus dilalui untuk bisa mengatasi masalah Hepatitis C, terutama dalam hal pencegahan, penapisan, perbaikan akses terhadap pengobatan dan perawatan terkoordinir bagi mereka yang terkena penyakit hati tahap lanjut akibat Hepatitis C. Oleh sebab itu diperlukan partisipasi dari masyarakat luas untuk bersama-sama menanggulangi penyakit Hepatitis di seluruh dunia.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-52907416-9 dan 52921669, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id.

Sumber: Depkes

Rumah Sakit Masih Mendominasi Pelayanan Kesehatan Jiwa

Pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia saat ini masih didominasi pelayanan kesehatan jiwa pada tingkat tersier yaitu di rumah sakit jiwa atau UPF Psikiatri di RSU Pendidikan. Sistem ini umumnya berdiri sendiri dan tidak memiliki sistem rujukan yang jelas dengan pelayanan kesehatan primer, sekunder maupun pelayanan kesehatan jiwa yang ada di masyarakat, demikian pula sebaliknya.


Kondisi ini menyebabkan RSJ dan UPF Psikiatri di RSU Pendidikan di Indonesia tidak hanya berfungsi sebagai pelayanan tersier atau pusat unggulan pelayanan kesehatan jiwa tapi juga berfungsi sebagai “Puskesmas besar”.

Banyak gangguan jiwa yang sebetulnya bisa dilayani di Puskesmas dan RSU kabupaten/kota tetapi karena ketidaksiapan dokter di Puskesmas dan RSU Kab/Kota untuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa, menyebabkan hampir semua pasein dengan gangguan jiwa dirujuk ke pelayanan tersier atau RSJ/UPF Psikiatri RSU Pendidikan.

Hal itu disampaikan Dirjen Bina Pelayanan Medik (Bina Yanmed) Depkes RI dalam sambutan yang dibacakan Ses. Ditjen Bina Yanmed dr. Mulya A. Hasjmy, Sp.B, M.Kes ketika membuka Pertemuan Nasional Kesehatan Jiwa pada hari Senin,18 Mei 2009 di Hotel Horison Bekasi.

Pertemuan yang berlangsung sampai tanggal 20 Mei ini bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia, dihadiri para Kepala Bagian Psikiatri FK Negeri dan Swasta dari 31 Universitas, serta para Ketua Program Studi Psikiatri dari 9 FK Negeri. Acara ini juga menampilkan pembicara tamu yaitu Profesor Harry Minas dari University of Melbourne dan Professor Prameshvara Deva dari University of Techology Mara - Shah Alam Malaysia.

Lebih lanjut ditegaskan, kesenjangan pelayanan karena ketidaktersediaan akses pada tempat mereka tinggal, menyebabkan banyak orang yang mengalami gangguan jiwa berat tidak mencari pertolongan pada tenaga kesehatan, biasanya keluarga dan masyarakat membawa mereka berobat ke pengobatan tradisional, pemuka agama, atau berbagai pengobatan alternatif lain. Umumnya Rumah Sakit Jiwa baru dimanfaatkan sebagai pilihan akhir bila upaya yang dilakukan tidak berhasil setelah mereka berkeliling ke berbagai dukun, ustad dan pengobatan tradisional.

Sulitnya akses bagi keluarga untuk mengunjungi pasien yang dirawat di RSJ dan RSU Pendidikan juga menyebabkan banyak keluarga akhirnya membiarkan pasien bertahun-tahun tinggal di RSJ menjadi pasien inventaris. Sehingga RSJ dan UPF Psikiatri RSU Pendidikan juga sering berfungsi sebagai panti sosial tempat menitipkan orang gangguan jiwa yang keberadaan keluarganya tidak jelas lagi. Misalnya seperti yang terjadi di RSJ Bogor, Lawang, Magelang ada yang sudah menjadi penghuni RSJ sejak sebelum Indonesia merdeka.

Dirjen Bina Yanmed mengatakan, melihat kondisi yang ada diharapkan terjadinya reformasi pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia dimana terjadi perubahan dari sistem konvensional yang bersifat kustodial seperti penjara di institusi psikiatri atau Rumah Sakit Jiwa kepada sistem yang seimbang antara pelayanan di Rumah Sakit dan pelayanan di masyarakat.

Upaya reformasi pelayanan kesehatan jiwa dengan menyediakan pelayanan kesehatan jiwa di Puskesmas dan RSU Kabupaten/Kota terus diupayakan, namun belum didukung oleh tenaga kesehatan khususnya dokter umum yang siap pakai untuk merespon berbagai masalah kesehatan jiwa.

Di Indonesia pada umumnya dokter di Puskesmas dan RSU banyak yang tidak peka terhadap berbagai masalah gangguan jiwa serta tidak percaya diri dalam menghadapi kasus gangguan jiwa. Untuk mengatasi hal ini dilakukan dengan diselenggarakannya pelatihan-pelatihan deteksi dini dan penatalaksanaan gangguan jiwa di pelayanan umum oleh Dinas Kesehatan setempat, namun timbul lagi masalah saat dokter-dokter itu kemudian tidak lagi bekerja di Puskesmas atau RSU karena mereka harus melanjutkan pendidikan spesialisasi atau pendidikan magister.

Melalui pertemuan ini diharapkan adanya persamaan persepsi dan cara pandang untuk menjawab dan mengantisipasi kebutuhan tenaga dokter yang dapat merespon kebutuhan pelayanan kesehatan jiwa ini. Kolaborasi antara Departemen Kesehatan dan Institusi pendidikan psikiatri ini sangat strategis sekali untuk menjawab kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tenaga dokter dan psikiater bagi pelayanan kesehatan jiwa sendiri dalam rangka meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan jiwa di Indonesia.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-52907416-9 dan 52921669, atau e-mail puskom.depkes@gmail.com dan puskom.publik@yahoo.co.id.

Sumber: Depkes

Bakti Sosial dalam Rangka Memperingati Hari Asma Sedunia 2009

Yayasan Penyantun Anak Asma (Yapnas) Indonesia bekerja sama dengan ANTV peduli dalam rangka memperingati Hari Asma Sedunia 2009 mengadakan Bakti Sosial di kantor kelurahan Marunda Jakarta Utara tanggal 17-5-2009.


Bakti sosial berupa pemeriksaan kesehatan dan pengobatan secara gratis untuk masyarakat yang didukung oleh puluhan dokter dan dilengkapi dengan alat-alat pendukung pemeriksaan kesehatan, diantaranya peralatan rontgen untuk melayani ratusan masyarakat sekitar yang secara antusias mengikuti acara tersebut. Acara ini dibuka Direktur Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM) Departemen Kesehatan dr. Yusharmen, D.CommH, M.Sc.

Dalam sambutannya, dr. Yusharmen mengatakan di seluruh dunia terdapat 100-150 juta penderita asma. Sedangkan di Indonesia menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) terdapat 4% prevalensi Asma. Dengan jumlah penduduk Indonesia 240 juta berarti terdapat sekitar 10 juta penderita asma di Indonesia, dimana sebagian besar adalah anak-anak.

Menurut dr. Yusharmen beberapa upaya telah dilakukan Departemen Kesehatan dalam mengurangi jumlah penderita dan kematian akibat asma, antara lain dengan didirikannya Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular sejak 2006. Saat ini sudah disusun petunjuk teknis agar bisa terus disempurnakan dan di-update sehingga bisa disebarluaskan kepada masyarakat dalam bentuk buku saku. Selain itu juga bekerja sama dengan WHO mengembangkan pendataan berbasis komunitas. Bermitra dengan pihak-pihak terkait melaksanakan upaya pencegahan primer yang dilakukan sejak dini untuk mengurangi pajanan terhadap faktor resiko seperti asap rokok, kurang gizi, penyakit infeksi saluran pernafasan pada anak dan pencemaran udara diruangan, luar ruangan dan tempat kerja.

dr. Yusharmen atas nama pimpinan Depkes menyampaikan apresiasi dan terima kasih yang sebesar-besarnya pada Yayasan Penyantun Anak Asma Indonesia, Yayasan Asma Indonesia, dan ANTV peduli atas terlaksananya bakti sosial dalam rangka menanggulangi penyakit asma. Diharapkan kegiatan ini bermanfaat dan dilanjutkan dengan intensitas yang meningkat dari waktu ke waktu sehingga penanganan dan pencegahan penyakit asma di Indonesia dapat ditanggulangi bersama.

Acara yang memiliki slogan “You Can Control Your Asthma” sebagai tema kampanye global sepakat bahwa penderita asma tetap dapat hidup normal dengan kualitas hidup yang maksimal apabila mampu mengelola asma dan mengontrol kesehatannya secara teratur.

Hadir juga dalam acara itu Ketua Umum Yapnas-Ike Nirwan Bakrie, Ketua Harian ANTV Peduli–Azkarmin Zaini, Setiawan dari Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian, pimpinan Kelurahan Marunda, serta para undangan lainnya.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-52907416-9 dan 52921669, atau e-mail puskom.depkes@gmail.com dan puskom.publik@yahoo.co.id.

Sumber: Depkes

Kampanye Penanggulangan Hepatitis

Posted from : depkes.go.id
Pemerintah Indonesia bekerja sama dengan Perhimpunan Penelitian Hati Indonesia (PPHI), Blitz Megaplex, Gold Gym dan Roche Indonesia, hari ini memperingati Hari Hepatitis Sedunia 2009 dengan melakukan kegiatan peningkatan kesadaran masyarakat, pemeriksaan, perawatan dan pengobatan Hepatitis C.

Menkes RI, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) dalam sambutan yang dibacakan dr. Rachmi Untoro, MPH Staf Ahli Menkes Bidang Mediko Legal pada peluncuran program kegiatan berbasis edukasi melalui kampanye ” Ayo Periksa, Sembuhkan Segera ” di Jakarta (19/05, 2009), mengatakan sekitar 7 juta orang Indonesia hidup dengan Hepatitis C kronik, dan diperkirakan terdapat ribuan infeksi baru muncul setiap tahunnya. Untuk mengatasi hal ini diperlukan kemitraan yang baik antara pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan, organisasi profesi kesehatan, LSM peduli Hepatitis C dan dunia usaha.

Menkes menambahkan, penyakit Hepatitis C sampai saat ini belum ada vaksin untuk pencegahannya. Sebagai langkah awal, sejak tanggal 1 Oktober 2007 pemerintah bekerja sama dengan PT. Roche Indonesia telah mengumpulkan data Hepatitis C di 21 provinsi dengan melibatkan unit transfusi darah, rumah sakit dan laboratorium. Kegiatan ini dimaksudkan untuk melihat besaran penyakit Hepatitis di Indonesia. Dari data yang telah didapatkan ternyata penderita Hepatitis C di Indonesia cukup banyak.

Hal ini merupakan masalah kesehatan karena penyakit ini menular melalui kontak dengan darah penderita sehingga penularan yang terjadi dikhawatirkan akan terus bertambah. Selain itu kesakitan baru muncul sekitar 10 sampai 30 tahun sehingga seseorang seringkali baru mengetahui tubuhnya terinfeksi setelah berada dalam keadaan sirosis lanjut dengan beberapa komplikasi, seperti bengkak, muntah darah, dan penurunan kesadaran.

Untuk itu marilah kita jadikan peringatan Hari Hepatitis Sedunia ini sebagai langkah awal untuk peningkatan kesadaran masyarakat dalam mengetahui secara dini kondisi kesehatannya, khususnya kesehatan hati dan bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk mencegah agar tidak menderita penyakit ini.

Ketua PPHI, dr. Unggul Budihusodo Sp.PD. KGEH, menambahkan, pesan yang disampaikan melalui kampanye tersebut penting untuk diketahui secara luas. Pemahaman bahwa siapapun beresiko terkena dan kesadaran untuk memeriksakan diri secara mandiri tidak saja penting untuk mencegah penyebaran virus lebih lanjut, tetapi juga meningkatkan peluang keberhasilan pengobatan penyakit Hepatitis C.

Hepatitis C kronik merupakan peradangan hati yang berjalan menahun dan disebabkan oleh virus Hepatitis C yang menyebabkan kerusakan sel hati yang berlanjut menjadi sirosis (pengerasan hati), gagal hati serta kanker hati yang berujung pada kematian. Kemajuan pengobatan telah memberikan peluang besar bagi mereka yang terinfeksi untuk sembuh. Peran dokter umum sangat penting dalam upaya diagnosis dini sehingga pembekalan yang memadai untuk mereka akan sangat membantu menemukan penyakit dan menyelamatkan hidup pasien, tegas dr. Unggul.

Seseorang yang tertular pada masa dewasa kemungkinan menjadi kronik sebesar 80% berbeda dengan Hepatitis B yang akan menjadi kronik hanya kurang dari 10%. Jadi memang kronisitas menjadi sifat dari Hepatitis C. Semua orang berisiko untuk tertular virus Hepatitis C. Selain melalui transfusi darah, virus ini dapat menular melalui hubungan seks yang tidak aman, tato, tindik dan injeksi. Hepatitis C kronik dikenal sebagai “silent killer” karena sekitar 90% kasus hampir tidak bergejala. Situasi ini meningkatkan risiko penularan Hepatitis C yang tidak disadari oleh pembawa virus, ungkap dr. Unggul.

Ditambahkan Dr. Ait Allah Mejri, General Manager PT. Roche Indonesia, masih panjang perjalanan yang harus dilalui untuk bisa mengatasi masalah Hepatitis C, terutama dalam hal pencegahan, penapisan, perbaikan akses terhadap pengobatan dan perawatan terkoordinir bagi mereka yang terkena penyakit hati tahap lanjut akibat Hepatitis C. Oleh sebab itu diperlukan partisipasi dari masyarakat luas untuk bersama-sama menanggulangi penyakit Hepatitis di seluruh dunia.

22 Mei 2009

WHA ke-62 Lahirkan Resolusi Untuk Lanjutkan Pembahasan Virus Sharing

Jenewa, 22 Mei 2009 - World Health Assembly ke-62 menyepakati Resolusi baru yang memutuskan untuk melanjutkan proses yang transparan untuk memfinalisasi butir-butir yang belum disepakati yang masih tersisa dalam Kerangka Kesiapan Pandemi Influenza untuk Virus Sharing dan Akses pada Vaksin dan Manfaat Lainnya, termasuk Standard Material Agreement (SMTA), yang harus diselesaikan selambat-lambatnya Januari 2010.


Resolusi tersebut menyatakan bahwa kesepakatan-kesepakatan yang dicapai pada Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness (IGM PIP) akan menjadi bagian dari perjanjian pokok tentang mekanisme baru virus sharing, yang menjadikan benefit sharing sebagai bagian penting dan tidak terpisahkan.

Resolusi yang dipelopori Indonesia dan diajukan oleh delegasi-delegasi dari Argentina, Bangladesh, Bhutan, Brazil, Cili, Kuba – mewakili negara anggota Gerakan Non-Blok, Ghana – mewakili wilayah Afrika, Guatemala, India, Indonesia, Iran, Maldives, Myanmar, Nigeria, Sri Lanka, Timor-Leste dan Venezuela, telah mempercayakan Direktur Jenderal WHO untuk melakukan proses pembahasan lanjutan yang transparan dan berimbang antara negara-negara maju dan berkembang.

Resolusi juga mengakui bahwa IGM PIP telah menyepakati sebagian besar butir-butir pada Kerangka Kesiapan Pandemi Influenza untuk Virus Sharing dan Akses pada Vaksin dan Manfaat Lainnya, dan menyatakan kembali pentingnya solusi jangka panjang untuk kesiapan dan respon terhadap pandemi influenza.

Menurut anggota delegasi Indonesia dan diplomat senior Dr. Makarim Wibisono tercapainya Resolusi yang mengakui kesepakatan-kesepakatan dalam proses perundingan IGM-PIP selama dua tahun terakhir ini mencerminkan solidaritas negara negara pendukung dan tekad kuat serta desakan yang tidak kenal lelah dan kepemimpinan Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Sementara anggota delegasi Dr. Widjaja Lukito, Ph.D., Sp. GK berpendapat Resolusi ini menandakan kemajuan signifikan dalam perjuangan gigih Indonesia menuju pada kesepakatan dunia di bidang kesehatan khususnya virus sharing dan benefit sharing yang lebih adil, transparan dan setara.

Direktur Jenderal WHO diminta didalam Resolusi WHA ke 62 itu, untuk bekerja sama dengan negara-negara anggota untuk mendorong kemajuan pembahasan atas dasar hal-hal yang telah disepakati dari Kerangka Kesiapan Pandemi Influenza untuk Virus Sharing dan Akses pada Vaksin serta Manfaat Lainnya. Direktur Jendral WHO berkewajiban memfasilitasi proses pembahasan yang transparan untuk memfinalisasi elemen-elemen penting termasuk Standard Material Agreement (SMTA) juga unsur-unsur di dalam annex SMTA, lalu melaporkan hasilnya pada Sidang Executive Board WHO ke 126 pada bulan Januari 2010.

Menteri Kesehatan Indonesia, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, SpJp (K), sebagai inisiator konsep mekanisme baru virus sharing yang adil, transparan dan setara serta mengintegrasikan benefit sharing ini, menyambut baik resolusi tersebut sebagai pencapaian mulia dalam dunia kesehatan dan pengobatan, dengan dicapainya langkah maju untuk meraih tatanan kesehatan publik global yang lebih baik.

Tentang Standard Material Transfer Agreement
Standard Material Transfer Agreement (SMTA) jika berlaku akan mengubah mekanisme virus sharing yang saat ini berlaku menjadi mekanisme yang berbasis keadilan, transparansi dan kesetaraan. SMTA akan membuka akses dan transparansi pada informasi tentang virus influenza, yang akan membuka pintu bagi para ilmuwan di negara maju dan berkembang untuk melakukan riset dan membangun kapasitas untuk memproduksi vaksin, antivirus dan diagnostik. SMTA juga mengandung aturan-aturan tentang benefit sharing ketika hasil dari riset yang menggunakan sampel-sampel yang disalurkan dalam sistem ini dikomersialkan.

Tentang World Health Assembly
World Health Assembly (WHA) merupakan sidang tertinggi dari Badan Kesehatan Dunia PBB atau WHO (World Health Organization) yang bersidang sekali dalam setahun setiap bulan Mei di Jenewa, Swiss. WHA ke-62 diselenggarakan di Jenewa pada tanggal 18-22 Mei 2009.

Tentang Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness
Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness (IGM PIP) adalah sebuah proses pertemuan Negara anggota yang diselenggarakan Sekretariat WHO untuk memfinalisasi negosiasi mengenai sistem baru virus sharing influenza H5N1 dan benefit sharing yang timbul dari pemanfaatan virus dan bagian-bagiannya.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-522 3002, 5296 0661 atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id dan puskom.depkes@gmail.com

Sumber: Depkes

Menkes RI Tegaskan Kembali Pentingnya Mekanisme Baru Virus Sharing & Benefits

Posted from: depkes.go.id

Menteri Kesehatan Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K) menagih janji soal virus sharing dan benefit secara adil, transparan dan setara, sebagaimana kesepakatan pada sidang WHA (World Health Assembly) ke-60 dan IGM-PIP (Inter-Governmental Meeting of Pandemic Influenza Preparedness) tahun lalu di Jenewa. Ketika itu negara-negara anggota telah menyetujui usulan Indonesia agar mekanisme virus sharing konsisten dengan hukum dan peraturan nasional masing-masing negara.

Hal itu disampaikan Menkes ketika berpidato pada Sidang WHA ke-61 di Jenewa, Swiss, tanggal 19 Mei 2008. Sidang WHA ke-61 ini berlangsung tanggal 19 – 24 Mei 2008 dengan mengambil tema “Health Related to the Millenium Development Goals (MDGs)”.

Menkes lebih lanjut menyatakan bahwa sejak adanya debat tentang virus sharing dan benefits sharing maka sistem Global Inisiative Surveilance Network (GISN) yang sudah berlangsung selama 60 tahun tidak akan pernah adil, transparan dan setara sampai kedaulatan dan hukum negara pengirim virus dipertimbangkan. Oleh karena itu, GISN harus diganti dengan mekanisme baru.

Sebagai organisasi yang mengatur sistem kesehatan dunia, WHO diminta tidak mengesampingkan kepentingan negara berkembang, tetapi harus memberikan pelayanan kepada seluruh negara anggota jika menginginkan pencapaian kesehatan yang lebih baik secara menyeluruh bagi umat manusia di dunia.

Menkes tidak sependapat dengan salah satu negara anggota yang menyatakan bahwa GISN dan tradisinya yang sudah berlangsung selama 60 tahun telah mencapai keberhasilan dalam kesehatan global. Menurut Menkes, mereka tidak melihat banyak fakta yang justru merugikan negara-negara berkembang.

Menkes juga menjelaskan bahwa kemampuan produksi vaksin yang kurang dari 5% penduduk dunia saat ini adalah justru suatu kegagalan besar, sementara akses dan transfer teknologi belum diperoleh negara-negara berkembang. Situasi ini juga mendukung fakta bahwa program stockpiling (penyediaan stok obat) gagal memenuhi tantangan kesiapsiagaan dunia menghadapi pandemi influenza. Karena itu Menkes menegaskan kembali bahwa virus sharing dan benefits sharing adalah tanggung jawab bersama baik negara maju maupun negara berkembang.

Menkes RI lebih lanjut menegaskan bahwa Indonesia tidak takut untuk mengemban tanggung jawab dalam virus sharing asalkan sistem itu memberikan keuntungan bagi negara berkembang dan menghasilkan sistem yang adil, transparan dan seimbang. Indonesia berkomitmen untuk terus berkontribusi dalam kesehatan masyarakat dunia sebagaimana telah ditunjukkan selama ini.

Dalam sidang WHA Menkes RI juga menyoroti bahwa tujuan MDGs sulit dicapai karena berbagai kendala seperti adanya kenaikan harga minyak dunia yang berpengaruh pada kenaikan harga pangan dunia yang berdampak pada kerawanan pangan, serta perubahan iklim yang memperngaruhi insiden dan prevalesi penyakit tropis yang menyulitkan upaya pengendalian dan pemberantasannya. Hal tersebut memerlukan upaya bersama yang sungguh-sungguh dari masyarakat global.

20 Mei 2009

Menkes RI Serukan Pentingnya Penuntasan Mekanisme Baru Virus Sharing pada World Health Assembly

Jenewa, 19 Mei 2009 – Indonesia mendesak disepakatinya mekanisme baru virus sharing, pada World Health Assembly (WHA) ke-62. Desakan ini disampaikan dalam sambutan Menteri Kesehatan, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.Jp(K). yang membuka hari kedua WHA, tanggal 19 Mei 2009.

Sebelumnya Intergovernmental Meeting – Pandemic Influenza Preparedness (IGM-PIP) pada 14-15 Mei menjelang WHA, telah menyepakati sebagian besar butir-butir pembahasan namun masih menyisakan pembahasan isu-isu sensitif terkait virus sharing.

“Padahal, mekanisme kesiapsiagaan pandemi H1N1 saat ini semakin menguatkan sinyal perlunya perombakan sistem surveilans influenza dan adanya mekanisme berbagi virus yang adil dan transparan yang mengintegrasikan benefit sharing,” kata Menteri.

Menteri Kesehatan menyoroti sikap WHO yang tidak melakukan upaya proaktif, tepat waktu serta sistematis dalam merekomendasikan negara-negara yang memiliki kapasitas produksi untuk memulai produksi suplai antivirus generik. Padahal di saat yang sama, negara-negara maju telah menandatangani perjanjian dengan produsen vaksin untuk memastikan mereka mendapat produksi vaksin pandemi secara langsung dan lebih dulu, suatu hal yang merugikan serta menimbulkan risiko bagi negara-negara berkembang.

“Belum lagi, banyak negara maju yang telah memiliki kontrak di muka untuk mengamankan lebih dari 200 juta dosis vaksin flu pandemi, atau sekitar lebih dari setengah produksi vaksin flu musiman saat ini. Kalau sudah begini, apa yang tersisa bagi negara-negara berkembang?,” kata Menteri.

Menteri juga mengkritisi ditingkatnya kewaspadaan pandemi dari 3 ke 4, lalu ke 5, dan kemudian mengumumkan semakin dekatnya pandemi flu baru H1N1. Padahal walau penyebaran H1N1 sangat serius dan meluas, flu baru H1N1 ini memiliki tingkat kematian yang rendah sekitar kurang dari 2%, angka yang sangat jauh jika dibandingkan angka kematian akibat flu musiman.

Untuk itu, Menteri juga mendesak WHO adanya redefinisi kriteria penentuan tingkat kewaspadaan pandemi. “Akan lebih akurat lagi jika WHO meredefinisi penentuannya dengan mempertimbangkan pula indikator klinis (angka kasus dan kematian) dan indikator sekuens genetik (tinggi atau rendahnya patogenetik dari virus), tidak hanya tingkat penularannya,” tambahnya.

Banyak kemajuan telah dicapai sejak IGM-PIP Desember lalu, untuk membentuk kerangka dan Standard Material Transfer Agreement (SMTA), serta pembentukan Advisory Mechanism dan Influenza Virus Traceability Mechanism dengan telah disetujuinya sebagian besar butir-butir kesepakatan.

Jika telah disahkan dan berkekuatan hukum SMTA akan merubah secara radikal tatanan penggunaan virus yang berlaku selama 62 tahun ini, dalam sebuah kerangka yang lebih adil transparan dan setara. Dan akan membuka akses terhadap virus influenza, yang berarti membuka peluang besar untuk para peneliti negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas penelitiannya sehingga Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengembangkan alat diagnostik, vaksin dan obat obatan terhadap virus flu burung dan virus lainnya yang berpotensi pandemi, termasuk H1N1, sehingga kapasitas penelitian dan produksi vaksin tidak terbatas pada beberapa negara maju saja..

“Upaya bersama kita dalam mewujudkan mekanisme baru yang adil, transparan dan setara ini sangat penting dan dapat dilaksanakan untuk memastikan isu-isu kunci tertuntaskan pada WHA ini, dalam rangka memberikan solusi dan perlindungan jangka panjang bagi kesehatan publik global,” kata Menteri Kesehatan.

WHA merupakan sidang tertinggi dari Badan Kesehatan Dunia PBB atau WHO (World Health Organization) yang bersidang sekali dalam setahun setiap bulan Mei di Jenewa, Swiss.

Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness (IGM - PIP) adalah sebuah proses pertemuan Negara anggota yang diselenggarakan Sekretariat WHO untuk memfinalisasi negosiasi mengenai sistem baru virus sharing influenza H5N1 dan benefit sharing timbul dari penggunaan virus dan bagian-bagiannya.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-522 3002, 5296 0661 atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id dan puskom.depkes@gmail.com.

Sumber: Depkes

Menghitung Hari Menuju Indonesia Sehat 2010



http://lisasuroso.files.wordpress.com/2008/04/ciliwung.jpg

Pada Tahun 2003, Departemen Kesehatan RI, melalui Kepmenkes No 1202/Menkes/SK/VIII/2003 telah mencanangkan sebuah gerakan yang disebut dengan Indonesia Sehat 2010. Enam tahun sudah gerakan ini dicanangkan. Dan, tinggal empat bulan lagi kita akan melihat realisasi dari pencanangan ini.

Untuk mengukur apakah Indonesia Sehat sudah tercapai di 2010, Depkes sendiri telah menyusun indikator-indikator kinerja yang dapat digunakan oleh semua pihak untuk menilai dan mengevaluasi. Indikator yang disusun itu sangat detail, rigit dan sistematik. Berikut ini adalah beberapa indikator penting yang tertuang dalam lampiran Kepmenkes No 1202/Menkes/SK/VIII/2003.

1. Angka kematian bayi per-1.000 kelahiran hidup
2. Angka kematian balita per-1.000 kelahiran hidup
3. Persentasi Balita Gizi buruk maksimal 15 %
4. Persentase rumah sehat 80 %
5. Persentase Posyandu Purnama minimal 40 %
6. Persentase penduduk yang memanfaatkan Puskesmas minimal 15 %
7. Rasio Dokter 1 : 100.000 penduduk
8. Rasio Dokter spesialis 1 : 100.000 penduduk
9. Rasio Dokter keluarga 1 : 1.000 penduduk
10. Persentase keluarga yang memiliki akses ke air bersih minimal 85 %

(sumber : www.koalisi.org)

Dengan indikator-indikator tersebut, tentu jika semua dibebankan kepada Depatermen Kesehatan RI tidak akan bisa tercapai. Diperlukan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat untuk mencapai target tersebut. Selain soal struktural, kesehatan juga mencakup problem kultural salah satunya adalah perilaku sehat.

Tugas kita semua untuk menyelesaikannya. Yang memiliki perspektif struktural, silahkan terus mengawasi dan memberikan masukan kepada pemegang kebijakan agar bekerja lebih serius, bagi yang lebih suka dengan pendekatan kultural, silahkan menggalakkan kegiatan-kegiatan keteladanan berperilaku hidup sehat dari lingkungan terkecil kita.

Indonesia Sehat 2010, tinggal menghitung hari. Jika lebay, Indonesia akan semakin susah untuk mengejar target Milineum Development Goals (MDGs) 2015

Menghitung Hari Menuju Indonesia Sehat 2010



http://lisasuroso.files.wordpress.com/2008/04/ciliwung.jpg

Pada Tahun 2003, Departemen Kesehatan RI, melalui Kepmenkes No 1202/Menkes/SK/VIII/2003 telah mencanangkan sebuah gerakan yang disebut dengan Indonesia Sehat 2010. Enam tahun sudah gerakan ini dicanangkan. Dan, tinggal empat bulan lagi kita akan melihat realisasi dari pencanangan ini.

Untuk mengukur apakah Indonesia Sehat sudah tercapai di 2010, Depkes sendiri telah menyusun indikator-indikator kinerja yang dapat digunakan oleh semua pihak untuk menilai dan mengevaluasi. Indikator yang disusun itu sangat detail, rigit dan sistematik. Berikut ini adalah beberapa indikator penting yang tertuang dalam lampiran Kepmenkes No 1202/Menkes/SK/VIII/2003.

1. Angka kematian bayi per-1.000 kelahiran hidup
2. Angka kematian balita per-1.000 kelahiran hidup
3. Persentasi Balita Gizi buruk maksimal 15 %
4. Persentase rumah sehat 80 %
5. Persentase Posyandu Purnama minimal 40 %
6. Persentase penduduk yang memanfaatkan Puskesmas minimal 15 %
7. Rasio Dokter 1 : 100.000 penduduk
8. Rasio Dokter spesialis 1 : 100.000 penduduk
9. Rasio Dokter keluarga 1 : 1.000 penduduk
10. Persentase keluarga yang memiliki akses ke air bersih minimal 85 %

(sumber : www.koalisi.org)

Dengan indikator-indikator tersebut, tentu jika semua dibebankan kepada Depatermen Kesehatan RI tidak akan bisa tercapai. Diperlukan dukungan dari seluruh lapisan masyarakat untuk mencapai target tersebut. Selain soal struktural, kesehatan juga mencakup problem kultural salah satunya adalah perilaku sehat.

Tugas kita semua untuk menyelesaikannya. Yang memiliki perspektif struktural, silahkan terus mengawasi dan memberikan masukan kepada pemegang kebijakan agar bekerja lebih serius, bagi yang lebih suka dengan pendekatan kultural, silahkan menggalakkan kegiatan-kegiatan keteladanan berperilaku hidup sehat dari lingkungan terkecil kita.

Indonesia Sehat 2010, tinggal menghitung hari. Jika lebay, Indonesia akan semakin susah untuk mengejar target Milineum Development Goals (MDGs) 2015

19 Mei 2009

Jelang World Health Assembly ke-62: Indonesia Harap Negara Maju Konsisten soal Virus Sharing

Indonesia berharap komitmen WHO dan negara-negara maju dalam The Intergovermental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness atau IGM-PIP tentang virus sharing yang berlangsung tg 14-15 Mei 2009 menjelang World Health Assembly (WHA) ke 62 di Jenewa tidak akan berubah.

Karena konsistensi ini sangat penting bagi tercapainya kesepakatan mondial atas mekanisme baru virus sharing yang adil, transparan dan setara yang didukung oleh mayoritas peseta IGM-PIP.

“Menteri Kesehatan akan berpidato di WHA pada sidang hari pertama Senin 18 Mei 2009. Delegasi Indonesia diperkuat Dr. Makarim Wibisono, diplomat senior yang pernah menjadi Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB New York dan Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Kesehatan Publik, Dr. Widjaja Lukito, PhD.,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan, dr. Lily. S. Sulistyowati, MM.

Dilaporkan bahwa dalam IGM-PIP, yang dimandatkan oleh Resolusi WHA 60.28 untuk membahas Strandard Material Agreement (SMTA) yang mengatur sistem virus sharing yang adil, transparan dan setara, telah menyepakati sekitar 85% dari butir-butir yang dibahas, selebihnya masih memerlukan pembahasan lanjutan, terutama benefit sharing. Menteri Kesehatan mengharapkan komitmen dan goodwill dari semua untuk menyelesaikan mekanisme virus sharing baru yang adil, transparan dan setara.

Sementara, butir-butir yang telah disepakati Pada Joint statement menutup IGM-PIP Desember 2008 lalu di Jenewa, dapat disimpulkan sebagai 5 (lima) terobosan besar:

1.
Disetujui penggunaan Standard Material Transfer Agreement (SMTA) dalam sistem virus sharing yang akan mengatur semua transfer virus maupun transfer bagian bagian virus yang berbentuk standar dan universal dan mempunyai kekuatan hukum.
2.
Prinsip prinsip SMTA secara umum disetujui termasuk pengakuan atas perlunya mengintegrasikan sistem benefit sharing kedalam SMTA, hal yang menjadi perjuangan gigih Indonesia dengan dukungan negara berkembang lain, dalam kelompok negara negara SEARO/South East Asia Regional Organization, Brazil dan AFRO (African Regional Office), meskipun terdapat tentangan keras dari Amerika Serikat.

Pernyataan IGM-PIP pada penutupan pertemuan bulan Desember 2008 berbunyi "negara negara anggota setuju untuk berkomitmen berbagi virus H5N1 dan virus influenza lainnya yang berpotensi pandemi serta menganggap virus sharing adalah setara benefit sharing, sebagai bagian penting dari langkah kolektif demi kesehatan publik secara global".
3.
Prinsip benefit sharing diintegrasikan kedalam SMTA
4.
Komitmen negara maju untuk benefit sharing secara nyata termasuk dalam berbagi risk assesment dan risk response.
5.
Terwujudnya Virus Tracking System dan Advisory Mechanisim untuk memonitoring dan evaluasi virus dan penggunaannya.

Prinsip-prinsip SMTA ini secara umum sudah disetujui oleh semua negara anggota, namun saat ini sistem benefit sharing yang diperjuangkan negara-negara berkembang masih belum tuntas dibahas.

Jika telah disahkan dan berkekuatan hukum SMTA akan merubah secara radikal tatanan penggunaan virus yang berlaku selama 62 tahun ini, dalam sebuah kerangka yang lebih adil transparan dan setara. Dan akan membuka akses terhadap virus influenza, yang berarti membuka peluang besar untuk para peneliti negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas penelitiannya sehingga Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengembangkan alat diagnostik, vaksin dan obat-obatan terhadap virus flu burung dan virus lainnya yang berpotensi pandemi, termasuk H1N1.

Perundingan virus sharing di IGM telah berlangsung selama dua tahun. Dan diharapkan hasilnya dapat disampaikan pada WHA yang berlangsung antara tanggal 18 – 22 Mei 2009.

Desakan penuntasan SMTA dan virus sharing pada WHA ini juga datang dari para Menteri Kesehatan negara ASEAN+3 dalam pernyataan bersama mereka sebagai hasil Pertemuan Khusus Menteri Kesehatan ASEA + 3 tentang Influenza A(H1N1) di Bangkok, 8 May 2009, antara lain:

“Menekankan kebutuhan untuk menuntaskan Inter-Governmental Meeting yang dimandatkan oleh WHA 60.28, tentang virus sharing H5N1 dan virus influenza lain dengan potensi pandemi pada manusia serta benefit sharing yang adil dan setara;

“Prihatin bahwa sebagian besar produksi vaksin global berlokasi di Eropa dan Amerika Utara, dan tidak cukup untuk merespon pandemi global; dan walaupun wilayah-wilayah dunia lain telah mulai memiliki teknologi untuk memproduksi vaksin influenza, akses pada vaksin pandemi yang efektif masih merupakan permasalahan utama di wilayah ini.”

“…kami berkomitmen di tingkat nasional untuk:

*
Menuntaskan pembicaraan Inter-Governmental Meeting tentang virus sharing H5N1 dan virus influenza lain yang berpotensi pandemic pada manusia dan adanya benefit sharing yang adil dan setara;
*
Mendesak Direktur Jenderal WHO untuk mendukung tujuan untuk memastikan akses yang adil dan setara pada vaksin pandemic bagi semua Negara anggota WHO; dan memfasilitasi peningkatan kemampuan produksi vaksin influenza di wilayah ini dan di Negara-negara berkembang lain.”

WHA merupakan sidang tertinggi dari Badan Kesehatan Dunia PBB atau WHO (World Health Organization) yang bersidang sekali dalam setahun setiap bulan Mei di Jenewa, Swiss.

Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness (IGM - PIP) adalah sebuah proses pertemuan Negara anggota yang diselenggarakan Sekretariat WHO untuk memfinalisasi negosiasi mengenai sistem baru virus sharing influenza H5N1 dan benefit sharing timbul dari penggunaan virus dan bagian-bagiannya.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon/faks: 021-522 3002, 5296 0661 atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id dan puskom.depkes@gmail.com.

Sumber: Depkes

Monopoli Vaksin Harus Dihentikan

Jelang World Health Assembly ke-62: Indonesia Harap Negara Maju Konsisten soal Virus Sharing.Indonesia berharap komitmen WHO dan negara-negara maju dalam The Intergovermental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness atau IGM-PIP tentang virus sharing yang berlangsung tg 14-15 Mei 2009 menjelang World Health Assembly (WHA) ke 62 di Jenewa tidak akan berubah.

Karena konsistensi ini sangat penting bagi tercapainya kesepakatan mondial atas mekanisme baru virus sharing yang adil, transparan dan setara yang didukung oleh mayoritas peseta IGM-PIP. Sehingga tidak ada lagi negara tertentu yang memonopoli virus dan vaksinnya apalagi kemudian menjualnya kembali kepada negara berkembang dengan harga mahal. Padahal, sebelumnya virus itu sendiri dikirim oleh negara berkembang untuk kebutuhan riset kesehatan.

“Menteri Kesehatan akan berpidato di WHA pada sidang hari pertama Senin 18 Mei 2009. Delegasi Indonesia diperkuat Dr. Makarim Wibisono, diplomat senior yang pernah menjadi Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB New York dan Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Kesehatan Publik, Dr. Widjaja Lukito, PhD.,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan, dr. Lily. S. Sulistyowati, MM.

Dilaporkan bahwa dalam IGM-PIP, yang dimandatkan oleh Resolusi WHA 60.28 untuk membahas Strandard Material Agreement (SMTA) yang mengatur sistem virus sharing yang adil, transparan dan setara, telah menyepakati sekitar 85% dari butir-butir yang dibahas, selebihnya masih memerlukan pembahasan lanjutan, terutama benefit sharing. Menteri Kesehatan mengharapkan komitmen dan goodwill dari semua untuk menyelesaikan mekanisme virus sharing baru yang adil, transparan dan setara.

Sementara, butir-butir yang telah disepakati Pada Joint statement menutup IGM-PIP Desember 2008 lalu di Jenewa, dapat disimpulkan sebagai 5 (lima) terobosan besar:

1.
Disetujui penggunaan Standard Material Transfer Agreement (SMTA) dalam sistem virus sharing yang akan mengatur semua transfer virus maupun transfer bagian bagian virus yang berbentuk standar dan universal dan mempunyai kekuatan hukum.
2.
Prinsip prinsip SMTA secara umum disetujui termasuk pengakuan atas perlunya mengintegrasikan sistem benefit sharing kedalam SMTA, hal yang menjadi perjuangan gigih Indonesia dengan dukungan negara berkembang lain, dalam kelompok negara negara SEARO/South East Asia Regional Organization, Brazil dan AFRO (African Regional Office), meskipun terdapat tentangan keras dari Amerika Serikat.

Pernyataan IGM-PIP pada penutupan pertemuan bulan Desember 2008 berbunyi "negara negara anggota setuju untuk berkomitmen berbagi virus H5N1 dan virus influenza lainnya yang berpotensi pandemi serta menganggap virus sharing adalah setara benefit sharing, sebagai bagian penting dari langkah kolektif demi kesehatan publik secara global".
3.
Prinsip benefit sharing diintegrasikan kedalam SMTA
4.
Komitmen negara maju untuk benefit sharing secara nyata termasuk dalam berbagi risk assesment dan risk response.
5.
Terwujudnya Virus Tracking System dan Advisory Mechanisim untuk memonitoring dan evaluasi virus dan penggunaannya.

Prinsip-prinsip SMTA ini secara umum sudah disetujui oleh semua negara anggota, namun saat ini sistem benefit sharing yang diperjuangkan negara-negara berkembang masih belum tuntas dibahas.

Jika telah disahkan dan berkekuatan hukum SMTA akan merubah secara radikal tatanan penggunaan virus yang berlaku selama 62 tahun ini, dalam sebuah kerangka yang lebih adil transparan dan setara. Dan akan membuka akses terhadap virus influenza, yang berarti membuka peluang besar untuk para peneliti negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas penelitiannya sehingga Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengembangkan alat diagnostik, vaksin dan obat-obatan terhadap virus flu burung dan virus lainnya yang berpotensi pandemi, termasuk H1N1.

Perundingan virus sharing di IGM telah berlangsung selama dua tahun. Dan diharapkan hasilnya dapat disampaikan pada WHA yang berlangsung antara tanggal 18 – 22 Mei 2009.

Desakan penuntasan SMTA dan virus sharing pada WHA ini juga datang dari para Menteri Kesehatan negara ASEAN+3 dalam pernyataan bersama mereka sebagai hasil Pertemuan Khusus Menteri Kesehatan ASEA + 3 tentang Influenza A(H1N1) di Bangkok, 8 May 2009, antara lain:

“Menekankan kebutuhan untuk menuntaskan Inter-Governmental Meeting yang dimandatkan oleh WHA 60.28, tentang virus sharing H5N1 dan virus influenza lain dengan potensi pandemi pada manusia serta benefit sharing yang adil dan setara;

“Prihatin bahwa sebagian besar produksi vaksin global berlokasi di Eropa dan Amerika Utara, dan tidak cukup untuk merespon pandemi global; dan walaupun wilayah-wilayah dunia lain telah mulai memiliki teknologi untuk memproduksi vaksin influenza, akses pada vaksin pandemi yang efektif masih merupakan permasalahan utama di wilayah ini.”

“…kami berkomitmen di tingkat nasional untuk:

*
Menuntaskan pembicaraan Inter-Governmental Meeting tentang virus sharing H5N1 dan virus influenza lain yang berpotensi pandemic pada manusia dan adanya benefit sharing yang adil dan setara;
*
Mendesak Direktur Jenderal WHO untuk mendukung tujuan untuk memastikan akses yang adil dan setara pada vaksin pandemic bagi semua Negara anggota WHO; dan memfasilitasi peningkatan kemampuan produksi vaksin influenza di wilayah ini dan di Negara-negara berkembang lain.”

WHA merupakan sidang tertinggi dari Badan Kesehatan Dunia PBB atau WHO (World Health Organization) yang bersidang sekali dalam setahun setiap bulan Mei di Jenewa, Swiss.

Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness (IGM - PIP) adalah sebuah proses pertemuan Negara anggota yang diselenggarakan Sekretariat WHO untuk memfinalisasi negosiasi mengenai sistem baru virus sharing influenza H5N1 dan benefit sharing timbul dari penggunaan virus dan bagian-bagiannya. (sumber utama:depkes.go.id)

Monopoli Vaksin Harus Dihentikan

Jelang World Health Assembly ke-62: Indonesia Harap Negara Maju Konsisten soal Virus Sharing.Indonesia berharap komitmen WHO dan negara-negara maju dalam The Intergovermental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness atau IGM-PIP tentang virus sharing yang berlangsung tg 14-15 Mei 2009 menjelang World Health Assembly (WHA) ke 62 di Jenewa tidak akan berubah.

Karena konsistensi ini sangat penting bagi tercapainya kesepakatan mondial atas mekanisme baru virus sharing yang adil, transparan dan setara yang didukung oleh mayoritas peseta IGM-PIP. Sehingga tidak ada lagi negara tertentu yang memonopoli virus dan vaksinnya apalagi kemudian menjualnya kembali kepada negara berkembang dengan harga mahal. Padahal, sebelumnya virus itu sendiri dikirim oleh negara berkembang untuk kebutuhan riset kesehatan.

“Menteri Kesehatan akan berpidato di WHA pada sidang hari pertama Senin 18 Mei 2009. Delegasi Indonesia diperkuat Dr. Makarim Wibisono, diplomat senior yang pernah menjadi Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB New York dan Staf Khusus Menteri Kesehatan bidang Kesehatan Publik, Dr. Widjaja Lukito, PhD.,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Departemen Kesehatan, dr. Lily. S. Sulistyowati, MM.

Dilaporkan bahwa dalam IGM-PIP, yang dimandatkan oleh Resolusi WHA 60.28 untuk membahas Strandard Material Agreement (SMTA) yang mengatur sistem virus sharing yang adil, transparan dan setara, telah menyepakati sekitar 85% dari butir-butir yang dibahas, selebihnya masih memerlukan pembahasan lanjutan, terutama benefit sharing. Menteri Kesehatan mengharapkan komitmen dan goodwill dari semua untuk menyelesaikan mekanisme virus sharing baru yang adil, transparan dan setara.

Sementara, butir-butir yang telah disepakati Pada Joint statement menutup IGM-PIP Desember 2008 lalu di Jenewa, dapat disimpulkan sebagai 5 (lima) terobosan besar:

1.
Disetujui penggunaan Standard Material Transfer Agreement (SMTA) dalam sistem virus sharing yang akan mengatur semua transfer virus maupun transfer bagian bagian virus yang berbentuk standar dan universal dan mempunyai kekuatan hukum.
2.
Prinsip prinsip SMTA secara umum disetujui termasuk pengakuan atas perlunya mengintegrasikan sistem benefit sharing kedalam SMTA, hal yang menjadi perjuangan gigih Indonesia dengan dukungan negara berkembang lain, dalam kelompok negara negara SEARO/South East Asia Regional Organization, Brazil dan AFRO (African Regional Office), meskipun terdapat tentangan keras dari Amerika Serikat.

Pernyataan IGM-PIP pada penutupan pertemuan bulan Desember 2008 berbunyi "negara negara anggota setuju untuk berkomitmen berbagi virus H5N1 dan virus influenza lainnya yang berpotensi pandemi serta menganggap virus sharing adalah setara benefit sharing, sebagai bagian penting dari langkah kolektif demi kesehatan publik secara global".
3.
Prinsip benefit sharing diintegrasikan kedalam SMTA
4.
Komitmen negara maju untuk benefit sharing secara nyata termasuk dalam berbagi risk assesment dan risk response.
5.
Terwujudnya Virus Tracking System dan Advisory Mechanisim untuk memonitoring dan evaluasi virus dan penggunaannya.

Prinsip-prinsip SMTA ini secara umum sudah disetujui oleh semua negara anggota, namun saat ini sistem benefit sharing yang diperjuangkan negara-negara berkembang masih belum tuntas dibahas.

Jika telah disahkan dan berkekuatan hukum SMTA akan merubah secara radikal tatanan penggunaan virus yang berlaku selama 62 tahun ini, dalam sebuah kerangka yang lebih adil transparan dan setara. Dan akan membuka akses terhadap virus influenza, yang berarti membuka peluang besar untuk para peneliti negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas penelitiannya sehingga Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengembangkan alat diagnostik, vaksin dan obat-obatan terhadap virus flu burung dan virus lainnya yang berpotensi pandemi, termasuk H1N1.

Perundingan virus sharing di IGM telah berlangsung selama dua tahun. Dan diharapkan hasilnya dapat disampaikan pada WHA yang berlangsung antara tanggal 18 – 22 Mei 2009.

Desakan penuntasan SMTA dan virus sharing pada WHA ini juga datang dari para Menteri Kesehatan negara ASEAN+3 dalam pernyataan bersama mereka sebagai hasil Pertemuan Khusus Menteri Kesehatan ASEA + 3 tentang Influenza A(H1N1) di Bangkok, 8 May 2009, antara lain:

“Menekankan kebutuhan untuk menuntaskan Inter-Governmental Meeting yang dimandatkan oleh WHA 60.28, tentang virus sharing H5N1 dan virus influenza lain dengan potensi pandemi pada manusia serta benefit sharing yang adil dan setara;

“Prihatin bahwa sebagian besar produksi vaksin global berlokasi di Eropa dan Amerika Utara, dan tidak cukup untuk merespon pandemi global; dan walaupun wilayah-wilayah dunia lain telah mulai memiliki teknologi untuk memproduksi vaksin influenza, akses pada vaksin pandemi yang efektif masih merupakan permasalahan utama di wilayah ini.”

“…kami berkomitmen di tingkat nasional untuk:

*
Menuntaskan pembicaraan Inter-Governmental Meeting tentang virus sharing H5N1 dan virus influenza lain yang berpotensi pandemic pada manusia dan adanya benefit sharing yang adil dan setara;
*
Mendesak Direktur Jenderal WHO untuk mendukung tujuan untuk memastikan akses yang adil dan setara pada vaksin pandemic bagi semua Negara anggota WHO; dan memfasilitasi peningkatan kemampuan produksi vaksin influenza di wilayah ini dan di Negara-negara berkembang lain.”

WHA merupakan sidang tertinggi dari Badan Kesehatan Dunia PBB atau WHO (World Health Organization) yang bersidang sekali dalam setahun setiap bulan Mei di Jenewa, Swiss.

Intergovernmental Meeting on Pandemic Influenza Preparedness (IGM - PIP) adalah sebuah proses pertemuan Negara anggota yang diselenggarakan Sekretariat WHO untuk memfinalisasi negosiasi mengenai sistem baru virus sharing influenza H5N1 dan benefit sharing timbul dari penggunaan virus dan bagian-bagiannya. (sumber utama:depkes.go.id)

Ayo biasakan cuci tangan dengan sabun

Jakarta : Kepala Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan, Abidinsyah Siregar, mengatakan masih tingginya kasus penyakit infeksi di tanah air salah satu diantaranya disebabkan karena masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk mencuci tangan.

Dari beberapa riset disebutkan, dari 100 orang hanya 12 persen saja yang mencuci tangan dengan sabun setelah buang air besar (BAB) dan hanya sekitar 9 persen saja yang mencuci tangannya sebelum menyiapkan makanan, katanya dalam talk show Perilaku Hidup Bersih dan Sehat dukung percepatan MDG s di Jakarta, Senin (18/5).

Kondisi tersebut dinilainya sebagai sangat mengkhawatirkan, karena ancaman penyakit infeksi terbesar bermula dari tangan yang kotor, seperti Kolera dan Disentri.

Untuk itu kebiasaan mencuci tangan harus diawali sejak dini mulai dari rumah, dimana bapak dan ibu berupaya memberikan contoh secara disiplin sehingga menjadi kebiasaan bagi anak-anaknya.

Budaya hidup bersih tersebut nantinya akan menjadi investasi untuk negara, sebaba kesehatan merupakan aset, karena biaya pengobatan jauh lebih tinggi ketimbang menjaga pola hidup sehat sedini mungkin, ujarnya.

Sementara ahli Pediatri Sosial Ikatan Dokter Anak Indonesia, Bernie Endyarni Medise, mengatakan, penerapan pola hidup bersih dan sehat di perkotaan sangat variatif sesuai dengan kondisi seseorang, yang tidak menjamin bahwa kemapanan dan kecerdasan seseorang mampu menerapkan hal tersebut.

Usaha yang paling efektif untuk menyadarkan adalah lewat disiplin dan edukasi sejak dini yang diterapkan secara konsisten, tidak hanya di rumah tapi juga di sekolah, sehingga penularan penyakit lewat tangan dapat diminimalkan, katanya

Disamping itu, di perkotan yang padat penduduk seperti Jakarta, sanitasi yang baik juga ketersediaan air bersih merupakan hal yang terpenting untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat. (T. Jul/toeb)


http://www.depkominfo.go.id/2009/05/18/kesadaran-masyarakat-untuk-mencuci-tangan-masih-kurang/

Pneumonia : Penyakit Kebanyakan Keringat

Zaman dulu, ada jargon berkeringat itu sehat yang sampai kini masih dipercaya banyak orang. Padahal, jargon itu berasal dari negara sub tropis, itu pun di musim dingin (salju).

Saat itu, orang dipaksa berkeringat dan rajin berolahraga, supaya lebih sehat dan tidak kedinginan. Tetapi di negara tropis, tanpa olahraga pun, tubuh sudah berkeringat. Dalam keadaan berkeringat badan pun terasa tidak nyaman, bahkan bisa menyebabkan jatuh sakit.

Salah satu penyakit yang dapat datang akibat kebanyakan keringat adalah pneumonia.

Pneumonia (long ontsteking, radang paru-paru atau paru-paru basah) dewasa ini begitu populer, karena sering muncul sebagai komplikasi penyebab kematian pada penderita flu burung.

Pneumonia juga menjadi pemicu komplikasi dan penyebab kematian dari penyakit campak dan influenza, terutama pada anak anak.Terjadinya pneumonia sebagai komplikasi dan penyebab kematian penyakit lain ini sebenarnya dapat dicegah, jika tubuh tidak terganggu dalam menjalankan salah satu tugas pentingnya.

Tugas penting itu ialah pekerjaan yang biasa dilakukan sel-sel yang melapisi bagian dalam saluran pernapasan. Tiap sel mempunyai kira-kira 200 silia (sejenis rambut yang sangat halus) dan mengeluarkan cairan encer di permukaannya. Silia itu bergerak secara teratur 10 - 20 kali per detik tanpa henti, menyapu cairan dengan kecepatan 1 cm per menit menuju tenggorokan, untuk kemudian tanpa disadari ditelan.

Normalnya, debu, kuman, asap, dan sejenisnya akan melekat pada cairan, lalu disapu bersih dari saluran pernapasan. Selain itu, cairan tersebut juga menjaga agar saluran napas selalu basah.

Nah, terlalu banyak mengeluarkan keringat, akan menyebabkan cairan itu menjadi kering dan lengket, sehingga tidak dapat dialirkan dan mengumpul menjadi dahak, plus menyumbat saluran napas. Saluran napas yang tersumbat menyebabkan sesak napas dan batuk. Lalu, berkembangbiaknya kuman-kuman dapat menyebabkan penyakit bronkhitis dan paru-paru basah.

Untuk penyembuhan jangka pendek bisa dengan mengencerkan dan mengeluarkan dahak menggunakan alat dan obat, atau biasa dikenal dengan inhalasi uap. Masalahnya, sampai kapan dahak akan terus diencerkan dan disedot lewat inhalasi ?

Ada cara yang lebih rasional dan bersifat jangka panjang, fisiologis dan mudah, yakni dengan mencegah keluarnya keringat secara berlebihan. Minum banyak pun akan sia-sia, kalau ruangannya masih pengap, karena akan keluar lagi melalui keringat. Maklum, udara di negara tropis sangat lembab (banyak mengandung uap air) sehingga kita sangat mudah berkeringat.

Uap air yang keluar ketika mengeluarkan napas mencapai 11 kali lebih banyak dibandingkan dengan udara yang dihisap ketika menarik napas. Jadi, dalam ruangan yang ventilasinya kurang, udara akan makin bertambab lembab, bertambah Co2 dan berkurang oksigennya, sehingga badan menjadi sangat lemah, penyakit pun merajalela.

Untuk mengatasinya, ruangan tidak ber-AC haruslah selalu terbuka agar udara segar dari luar bisa masuk. Kipas angin tidak ada gunanya kalau tidak ada udara segar dari luar yang masuk ke dalam ruangan.

Hindari asap rokok yang mengandung banyak monoksida yang tidak dapat dibersihkan oleh AC dan mengalahkan oksigen masuk ke dalam sel darah.

Jadi, tinggal pilih, mau penyelesaian jangka pendek atau jangka Panjang ?