07 Desember 2009

Sekolah bagi Si Anak Spesial

Farhan, presenter kondang, sempat kerepotan ketika Rizki, putra pertamanya, mulai masuk usia sekolah. Pasalnya, Rizki, yang kini berusia 10 tahun, terlahir sebagai anak spesial dengan autisme.
 Guna mencari lingkungan yang nyaman bagi Rizki, Farhan sempat memindahkan anaknya itu hingga ke enam sekolah yang mengklaim diri sanggup mendidik anak-anak dengan kebutuhan khusus ini.
Akhirnya Farhan menemukan sekolah itu di bilangan Cibubur, Jakarta Timur. Ia tidak peduli bahwa untuk sampai ke sekolah itu perlu waktu dan biaya yang tak sedikit pula. "Bagi saya, sekolah itu investasi besar yang tak bisa main-main. Soal biaya sekolah, yah habis satu Innova, deh," katanya terbahak.


Bukan fasilitas modern yang dicari Farhan dan mungkin sejumlah orang tua, yang punya anak dengan autisme, lainnya. "Tapi yang terpenting, apakah pihak sekolah bisa menyayangi anak saya enggak?" kata Farhan.

Memilih sekolah memang menjadi persoalan tersendiri bagi anak dengan autisme. Hambatan mereka dalam masalah komunikasi sering membuat anak-anak dengan kebutuhan khusus ini jadi pihak yang sulit dimengerti oleh lingkungan awam.

Perlu dukungan orang tua dan lingkungan sekitarnya agar anak autistik dapat menjalani kehidupan layaknya anak-anak lain. Ini jadi kepedulian orang tua, keluarga, terapis, dan sekolah yang berkumpul dalam acara Autism and Friends, yang diadakan London School of Public Relation di Senayan City, Jakarta, beberapa pekan lalu.

Bagaimanapun sekolah jadi salah satu pilar pendukung pendidikan bagi anak dengan autisme. "Keberhasilan penanganan autisme adalah kerja sama antara orang tua, dokter spesialis anak, psikiater, neurolog, spesialis rehabilitasi medis, psikolog, terapis, dan guru," kata Tri Gunadi dan Pusat Terapi Tumbuh Kembang Anak Yayasan Medical Exercise Therapy.

Namun semua itu idealnya harus punya satu kesamaan, yaitu bisa mencintai anak dengan tulus. "Biasanya anak tahu hal ini dan merasakannya, lho," kata Tri. Maka Tri menyarankan, pilihlah terapis atau penyelenggara sekolah yang menyukai dunia anak-anak, bukan cuma sekadar mencari uang dengan bekerja sebagai guru atau terapis.

Mereka, tutur Tri, biasanya punya kepribadian yang hangat, berkomunikasi dengan baik, ekspresif, suara yang jelas, dan fisik yang mendukung. Juga, "Punya pendidikan yang mendukung dan selalu haus akan ilmu penanganan anak autistik, hingga tahu teknik serta program terapi yang benar."
Untuk memahami anak dengan autisme, Kepala Sekolah Cita Buana Diah S. Rajasa mengatakan, orang tua dan pengajar harus sama-sama yakin anak autistik memiliki kesempatan untuk maju secara beragam.

Seluruh penyelenggara sekolah idealnya punya visi yang sama tentang penanganan anak dengan autisme. Salah satu yang paling penting dilakukan, misalnya, menghentikan stigma terhadap anak autistik. "Saya sangat menentang menjadikan istilah autis sebagai ungkapan buruk, seperti label 'Autis lu!'," kata Diah.

Di sekolah yang bersedia mendidik anak dengan autisme, seyogianya tiap pengajar dan staf punya kemampuan menangani anak yang tantrum. "Jadi tak akan menjadi kehebohan," Diah melanjutkan.
Untuk menciptakan suasana belajar yang tenang, anak dengan autisme perlu memahami aturan main dalam belajar. Penerapan penghargaan dan sanksi juga penting, meski sebelumnya anak pengidap autistik harus diajak bersepakat tentang aturan mainnya. "Kami menggunakan jadwal atau petunjuk secara visual untuk mengurangi tingkat stres siswa," tuturnya.

Anak dengan autisme biasanya bisa belajar lebih efektif bila ada konsistensi dengan menggunakan teknik tertentu. "Harus ada jadwal yang pasti. Anak autistik tidak mengenal abu-abu, tidak ada kata 'mungkin'," kata Diah. Perubahan akan membuat mereka tantrum--ekspresi yang bagi orang biasa dianggap tidak wajar, misalnya berteriak-teriak.

Selain itu, perlu latihan bersosialisasi dengan melibatkan siswa dari kelas reguler. "Ini akan jadi pembelajaran buat mereka, karena suatu saat mereka juga akan hidup bermasyarakat," tutur Diah. Kondisi ini tentu saja tak selalu ideal. Misalnya saja Diah menyebutkan, ada kemungkinan siswa pengidap autistik jadi korban bully dan merasa dirinya berbeda dengan yang lainnya.
Diah juga menyebutkan, tekanan dan kegagalan siswa bisa menimbulkan stres, yang membuat anak dengan autisme merasa berbeda, terisolasi, hingga menunjukkan perilaku tak terkendali dan agresif. Tapi dengan kesamaan visi antara orang tua dan tiap penyelenggara sekolah bahwa tiap anak berhak atas kasih sayang, ia yakin hal itu bisa diatasi. (UW)


Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/kesehatan/2009/12/07/brk,20091207-212172,id.html

2 komentar:

Dedy mengatakan...

Mencari lembaga pendidikan bagi anak yang mempunyai kebutuhan khusus bukan perkara mudah seperti yang dialami oleh om Farhan, presenter terkenal ini sampai pindah2 sekoleh sebanyak enam kali. Bagi golongan ekonomi mampu seperti om farhan barangkali tidak terlalu masalah, tapi kalau ini terjadi pada golongan ekonomi tidak mampu bagaimana? gimana ini pemerintah?

yoseman mengatakan...

Sebenarnya untuk mendidik anak tdk perlu mencari sekolah yang mahal atau memiliki prasarana lengkap. Smeua tergantung dari anak itu sendiri kalo memang mempunyai talenta tinggal diarahkan saja kok. Coba liat ke tengah masyarakat buktinya mereka sekolah biasa saja dapat sukses kok.

Posting Komentar