22 November 2009

Hasil Investigasi Kejadian Ikutan Paska Pengobatan Massal Filariasis Di Kabupaten Bandung :

19 Nov 2009
KEMATIAN 8 ORANG WARGA BANDUNG BUKAN KARENA MINUM OBAT FILARIASIS
Jakarta-Depkes. Ketua Komite Ahli Pengobatan Filariasis (KAPFI) Prof. Dr. dr. Purwantyastuti, M.Sc., Sp.FK mengatakan, obat anti filariasis aman digunakan. Sesuai analisis yang dilakukan, kematian 8 orang warga Bandung bukan karena minum obat filariasis (kaki gajah). Dari 8 kasus kematian, 3 kasus kematian ternyata tidak minum obat filariasis yang dibagikan saat pengobatan massal yang dimulai 10 November 2009. Sedangkan 5 kasus kematian lainnya terjadi karena penyakit lain yang telah diderita sebelumnya.

Mengenai banyaknya warga yang berobat ke RS Majalaya usai pengobatan massal, disebabkan rasa ketakutan terhadap efek samping yang timbul. Sebetulnya efek samping obat filariasis ringan yaitu mual, muntah, pusing dan nyesek sebagai akibat matinya mikrofilaria yang ada dalam tubuh. Sebagian besar dari mereka yang berobat ke rumah sakit hanya diobservasi dan diobati dengan antesida dan Omeperazole kemudian dipulangkan, ujar Prof. Purwantyastuti kepada para wartawan pada jumpa pers hasil investigasi yang dipimpin Menkes dr.Endang R. Sedyaningsih, MPH, Dr. PH di Jakarta 17 November 2009.

Menkes mengatakan, pemerintah tetap meneruskan program pengobatan massal untuk memberantas dan mencegah penularan penyakit filariasis (kaki gajah) di tanah air sehingga pada tahun 2020 Indonesia bebas dari penyakit yang ditularkan berbagai jenis nyamuk tersebut.

”Semua obat untuk pengobatan massal sudah terlebih dahulu melalui penelitian, jadi sudah pasti aman. Sosialisasi pun sudah dilakukan tetapi tidak ada salahnya ditingkatkan lagi agar para kader dan masyarakat tahu persis prosedurnya, kata Menkes.

Menkes mengatakan, sejak tahun 2002 pemerintah melakukan pemberian obat anti filariasis massal untuk mencegah penyebaran filariasis di daerah endemis. Disebut endemis jika di wilayah itu ada satu persen atau lebih penduduknya mengidap mikrofilaria dalam darahnya.

Prosedur pencegahan untuk eliminasi filariasis telah direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 1977. Pengobatan massal anti filariasis juga telah dilakukan di lebih 50 negara di wilayah Afrika, Amerika, Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Midetaria Timur yang mencakup 496 juta orang.

Negara-negara anggota WHO telah sepakat membebaskan dunia dari penyakit kaki gajah tahun 2020 dengan berupaya menerapkan berbagai strategi termasuk pemberian obat secara massal.

Di Indonesia, filariasis masih merupakan masalah kesehatan masyarakat. Hingga 2008, jumlah kasus kronis filariasis mencapai 11.699 kasus di 378 kabupaten/kota. Sedangkan sebanyak 316 dari 471 kabupaten/kota telah terpetakan secara epidemiologis endemis filariasis. Berdasarkan hasil pemetaan didapat prevalensi mikrofilaria di Indonesia 19% dari seluruh populasi Indonesia yang berjumlah 220 juta orang, berarti terdapat 40 juta orang didalam tubuhnya mengandung mikrofilaria. Mereka inilah sumber penularan penyakit kaki gajah, kata Menkes.

Hasil investigasi.
Ketua KAPFI memastikan kematian delapan warga Bandung Jawa Barat, tidak terkait dengan pemberian obat anti filariasis secara massal. ”Hasil analisis yang dilakukan setelah pemberian obat massal tanggal 10-16 November menunjukkan dari 8 orang yang dilaporkan meninggal, tiga orang diantaranya tidak meminum obat anti filariasis dan lima orang lainnya meninggal karena penyakit yang sudah diderita sebelumnya, ujar Prof. Dr. Purwantyastuti.

”Tiga dari lima orang yang meninggal setelah mengkonsumsi obat anti filariasis tersebut menunjukkan tanda serangan jantung dan dua lainnya memperlihatkan gejala stroke. Informasi itu diperoleh dari formulir data keluhan pasien yang diisi petugas kesehatan saat yang bersangkutan memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan. Jadi kesimpulan itu diambil berdasarkan hasil kajian mengenai reaksi obat, keluhan pasien dan diagnosisnya”, ujar Prof. Purwantyastuti.

Secara rinci dia menjelaskan, reaksi yang muncul setelah minum obat membutuhkan waktu antara satu hingga empat jam. ” Jadi kalau kejadiannya sebelum itu bisa dipastikan bukan karena pengaruh obat ”, ujarnya.

Dia menegaskan kematian lima warga Bandung tidak berhubungan dengan reaksi obat anti filariasis. Efek samping yang sering muncul adalah pusing, mual. ”Itu bisa terjadi jika orang tersebut mengidap mikrofilaria, setelah minum obat, cacing dewasa dan anak cacing akan mati dan itu menimbulkan alergi, mual dan nyeri tetapi tidak membahayakan, ujarnya.

Prof. Purwantyastuti menambahkan, obat yang diberikan secara massal kepada warga Kabupaten Bandung untuk mencegah penyakit kaki gajah terdiri atas diethylcarbamazinecitrate (DEC), albendazol (obat cacing) dan parasetamol (obat penurun panas).

Obat-obat tersebut, sudah digunakan sejak puluhan tahun silam dan terbukti aman, tidak pernah ada laporan kejadian efek samping yang membahayakan, apalagi menyebabkan kematian. Dosis pemberiannya pun lazim, kata Prof. Purwantyastuti yakni enam miligram per kilogram berat badan. Penimbangan berat badan warga memang tidak dilakukan, namun pemerintah menggunakan perhitungan berat badan rata-rata per kelompok umur yang dinilai cukup aman.

Obat itu harus diberikan setiap tahun selama 5 tahun berturut-turut untuk memastikan seluruh cacing filaria yang ada di dalam tubuh mati. Pemberian DEC, memang menimbulkan efek samping seperti pusing, mual, demam, muntah selama beberapa hari, apalagi kalau diminum sebelum makan. ” Lebih baik sakit sebentar, daripada menderita seumur hidup karena cacat akibat cacing filaria”, ujarnya.

Penyakit kaki gajah merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria (Brugia malayi, Brugia timori dan Wucheria brancofti) yang ditularkan oleh semua jenis nyamuk (Culex, Anopheles, Mansonia dan Aedes). Penyakit ini menyerang saluran dan kelenjar getah bening serta menyebabkan kecacatan seumur hidup, kata Ketua KAPFI.

Berita ini disiarkan oleh Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi melalui nomor telepon: 021-52907416-9, faks: 52921669, Call Center: 021-30413700, atau alamat e-mail puskom.publik@yahoo.co.id, info@puskom.depkes.go.id, kontak@puskom.depkes.go.id.




4 komentar:

Anonim mengatakan...

perlu ada klarifikasi resmi dari depkes mengenai kasus ini, selama ini masyarakat sdh kadung terimaginasi dengan adanya kasus meninggalnya warga setelah meminum obat anti kaki gajah tersebut.

Anonim mengatakan...

Untuk mengantisipasi terulangnya kejadian seperti di Bandung sebaiknya Dinkes setempat lebih hati2 lagi dalam mendistribusikan obat filariasis ini. terutama pemberian informasi lengkap tentang efek samping penggunaan obat sebaiknya juga ditempel di pembungkus obat karena masih banyak obat anti kaki gajah ini yang tdk menggunakan label aturan minumnya.

katmidi mengatakan...

mestinya petugas kesehatan memberikan keterangan yang sejelas-jelasnya saat memberi obat filariasi (obat kaki gajah) mengingat sebagian besar masyarakat kita berpendidikan rendah, dan sadar kesehatannya masih kurang. sehingga pemberian obat tersebut tidak justru menjadi bumerang di masyarakat.

yoseman mengatakan...

Efek samping penggunaan obat seperti mual dan lainnya ini yang seharusnya disampaikan lebih awal kepada masyarakat agar bisa diketahui sejak dini. Seharusnya kejadian di Bandung tdk perlu terjadi jika petugas secara profesional melakukannya.

Posting Komentar