30 Oktober 2009

Thalaesemia Masih Serang Anak-Anak

Pemerintah belum mengutamakan penanganan penyakit thalaesemia yang mulai ditemukan di Indonesia sejak 1955. Perhatian Departemen Kesehatan masih tertuju ke sejumlah penyakit menular. “Konsentrasi masih ke penyakit menular, suatu saat nanti thalaesemia dapat perhatian,” kata staf ahli Menteri Kesehatan Bidang Mediko Legal Rachmi Utoro di Bandung, Selasa (27/10).

Menurut dia, prioritas penanganan penyakit di Indonesia harus dilihat, antara lain, dari pola penyebaran penyakit dan besaran kasus. Penyakit yang diutamakan itu sekarang seperti SARS, flu babi, flu burung. Selain itu, tuberculosa (TBC) karena jumlah penderitanya berada di urutan ketiga di dunia. Sedangkan penderita thalaesemia, kata dia, sejauh ini Departemen Kesehatan belum memiliki data jumlah dan sebarannya.

Thalassaemia adalah penyakit keturunan akibat rusaknya sel darah merah. Sampai sekarang, penyakit tersebut belum ada obatnya. Untuk memperpanjang usia, penderita thalaesemia berat harus rutin transfusi darah dan menyedot zat besi di dalam tubuhnya selama berjam-jam.

Untuk menurunkan jumlah penderita thalaesemia seperti itu, kata Rachmi, caranya dengan pencegahan. ”Sesama keturunan yang membawa gen thalaesemia agar tidak menikah,” katanya di sela sosialisasi thalaesemia di Universitas Padjadajaran, Bandung.

Sedangkan pada anak balita khususnya, deteksi dini thalaesemia bisa diamati dari fisik dan mentalnya. ”Anak yang sehat itu semakin bertambah usia, bertambah juga berat badan dan kecerdasannya,” ujarnya.

Staf bagian anak Rumah Sakit Umum Pusat dr Hasan Sadikin, Bandung, dr. Susi Susanah mengatakan, dari pasangan pembawa gen thalaesemia, kemungkinan memiliki anak tanpa thalasemia hanya 25 persen, 50 persen membawa penyakit dan berpotensi mengalami thalaesemia ringan, dan 25 persen sisanya mengidap thalaesemia berat. ”Banyak kasus yang orang tuanya merasa baik-baik saja, tapi anaknya kena,” katanya.

Berdasarkan perkiraan badan kesehatan dunia (WHO), pembawa gen thalaesemia berkisar antara 5-10 persen. Artinya, kata dia, dari 4 juta kelahiran di Indonesia, ada 2.000-4.000 bayi yang berpotensi terkena thalaesemia. Hingga September lalu di RS Hasan Sadikin, tercatat ada 553 pasien yang menjalani rawat jalan. “Hampir semuanya kategori berat,” ujarnya.

Setiap tahun, ada 40-50 pasien thalaesemia baru yang berobat ke rumah sakit rujukan se-Jawa Barat itu. ”Pasien yang termuda berusia 2 bulan dan yang tertua 51 tahun,” kata Susi. Umumnya pasien yang datang dari berbagai daerah itu berasal dari keluarga miskin yang berobat dengan memakai kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat. Mereka harus menjalani transfusi darah 1-2 kali sebulan. Selain itu, setiap hari mereka juga harus menyedot zat besi dalam darah mereka selama 8-15 jam agar tidak menimbulkan komplikasi penyakit.

Seluruh rangkaian pengobatan, katanya, mencapai Rp 250 juta per orang selama setahun. Sedangkan untuk penyembuhan yang ideal seperti transplantasi sel induk sangat mahal. Karena itu, dia meminta pemerintah memberi perhatian juga ke penderita thalaesemia dengan memberi subsidi yang lebih besar, terutama untuk upaya pencegahan lewat cara pemeriksaan awal secara gratis.

Pemeriksaan berupa pengambilan contoh darah itu, katanya, bisa dilakukan di Pusat Kesehatan Masyarakat. Dia mencontohkan negara Cyprus yang berhasil menurunkan angka penderita thalaesemia secara drastic. “Kalau digratiskan, tak ada alasan orang tak mau memeriksakan diri,” katanya.

Gejala thalasemia biasanya mulai tampak pada bayi berusia 2-3 bulan. Misalnya wajah tampak pucat, pertumbuhan terganggu, dan hidung pesek hingga pangkalnya. Pada anak-anak, tanda penyakit itu telah parah adalah perut yang membuncit karena limpanya membesar.



Sumber: www.tempointeraktif.com


5 komentar:

Anonim mengatakan...

karena belm ada obatnya pemerintah dalam hal ini depkes perlu memberikan penyuluhan aktif ke masyarakat ttng jenis dan pencegahannya.

Anonim mengatakan...

Emang jarang ada penderita talasemia terdeteksi saat anak mamasuki usia dewasa, biasanya sejak anak masih bayi susum tdk dapat memproduksi darah merah sesuai kebutuhannya.disamping itu dengan pertumbuhan usia ada kecenderungan talasemia menjadi penyakit akut yg sulit ditemukan pencegahannya

ida-ayu-lasmini mengatakan...

Bagi sebagian orang tua yg memiliki tingkat ekonomi menengah mempunyai anak yg menderita talasemia merupakan beban berat baik moral maupun materi. Selain harus tetap memantau laju perkembangan anak tidak sedikit biaya yng dikeluarkan utk melakukan transfusi darah.

suryanti mengatakan...

menurut dokter sih penyakit talasemia ini tidak menular tetapi lbh karena keturunan, jdi sebaiknya jika anda penderita talasemia mendingan adopsi anak saja .

shely-ratna mengatakan...

Penting sekali dilakukannya pemeriksaan medis pra nikah bagi pasangan calon suami isteri untk mecegah terjadinya penyakit talasemia pada anaknya nanti, seandainya ditemukan adanya gejala medis yg menunjukkan salah satu pasangan terkena talasemia mendingan ikut KB ajah,

Posting Komentar