Bandung (ANTARA News) - Penderita talasemia di Jawa Barat sepuluh tahun mendatang diprediksi akan mencapai lima ribu orang. Dengan penderita sebanyak itu biaya pengobatannya bisa menghabisakan dana Rp1,25 triliun per tahun.
Konsultan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Susi Susanah, dalam Sosialisasi Pencegahan Terhadap Talasemia di Bandung, Selasa, mengatakan hingga saat ini penyakit talasemia belum tersosialisasikan dengan baik, karena kosentrasi pemerintah terfokus pada penanggulangan penyakit menular seperti HIV/AIDS dan penyebaran firus influensa.
Padahal, lanjutnya, talasemia merupakan penyakit kelainan darah yang penyebarannya semakin meluas dan harus ada upaya untuk mencegah penyebaran tersebut.
Ia mengungkapkan, jumlah penderita talasemia diprediksi meningkat antara 3-10 persen di Jabar. Pada setiap kelahiran bayi di Jabar, 23 persen diantaranya membawa sifat talasemia.
"Dari kelahiran bayi di Jabar setiap tahun, yang terkena talasemia diperkirakan sebanyak 500 bayi," ujarnya.
Oleh karena itu Susi menilai harus ada kebijakan dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk melakukan kampanye pendidikan yang agresif ke masyarakat mencegah penyebaran talasemia ini.
"Kalau tidak, 10 tahun lagi jumlahnya bisa 5 ribu orang," katanya.
Ia menjelaskan, kalau sudah terkena biaya pengobatan yang harus dikeluarkan akan sangat mahal. Karena, semua penderita talasemia yang berat harus selalu melakukan tranfusi darah.
Pertahunnya, setiap penderita talasemia berat diperkirakan harus mengeluarkan uang sekitar Rp 250 juta. Jadi, kalau ada lima ribu orang di Jabar yang menderita talasemia berat akan menghabiskan biaya pengobatan setiap tahun sekitar Rp 1,25 triliun.
Penyakit talasemia, sambung Susi, bisa terkena pada siapa pun baik dari kalangan atas ataupun bawah. Asal, orang tuanya memiliki sifat talasemia.
Namun, kata dia, pasien talasemia yang datang ke RSHS hampir 90 persen merupakan pasien keluarga miskin (Gakin). Sisanya, pasien Askes dan umum.
Sedangkan, penderita talasemia yang termasuk mampu, pada umumnya melakukan pengobatan ke rumah sakit swasta dan tertutup. Sehingga, angka pasti penderita talasemia di Jabar sulit untuk diketahui.
Sementara Staf Ahli Departemen Kesehatan RI, Rachmi Untoro mengatakan, hingga saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan talasemia secara utuh.
"Indonesia, masuk dalam negara yang berisiko tinggi talasemia. Di Indonesia, setiap tahunnya 3 ribu bayi yang lahir berpotensi terkena talasemia," katanya.
Konsultan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Susi Susanah, dalam Sosialisasi Pencegahan Terhadap Talasemia di Bandung, Selasa, mengatakan hingga saat ini penyakit talasemia belum tersosialisasikan dengan baik, karena kosentrasi pemerintah terfokus pada penanggulangan penyakit menular seperti HIV/AIDS dan penyebaran firus influensa.
Padahal, lanjutnya, talasemia merupakan penyakit kelainan darah yang penyebarannya semakin meluas dan harus ada upaya untuk mencegah penyebaran tersebut.
Ia mengungkapkan, jumlah penderita talasemia diprediksi meningkat antara 3-10 persen di Jabar. Pada setiap kelahiran bayi di Jabar, 23 persen diantaranya membawa sifat talasemia.
"Dari kelahiran bayi di Jabar setiap tahun, yang terkena talasemia diperkirakan sebanyak 500 bayi," ujarnya.
Oleh karena itu Susi menilai harus ada kebijakan dan komitmen yang kuat dari pemerintah untuk melakukan kampanye pendidikan yang agresif ke masyarakat mencegah penyebaran talasemia ini.
"Kalau tidak, 10 tahun lagi jumlahnya bisa 5 ribu orang," katanya.
Ia menjelaskan, kalau sudah terkena biaya pengobatan yang harus dikeluarkan akan sangat mahal. Karena, semua penderita talasemia yang berat harus selalu melakukan tranfusi darah.
Pertahunnya, setiap penderita talasemia berat diperkirakan harus mengeluarkan uang sekitar Rp 250 juta. Jadi, kalau ada lima ribu orang di Jabar yang menderita talasemia berat akan menghabiskan biaya pengobatan setiap tahun sekitar Rp 1,25 triliun.
Penyakit talasemia, sambung Susi, bisa terkena pada siapa pun baik dari kalangan atas ataupun bawah. Asal, orang tuanya memiliki sifat talasemia.
Namun, kata dia, pasien talasemia yang datang ke RSHS hampir 90 persen merupakan pasien keluarga miskin (Gakin). Sisanya, pasien Askes dan umum.
Sedangkan, penderita talasemia yang termasuk mampu, pada umumnya melakukan pengobatan ke rumah sakit swasta dan tertutup. Sehingga, angka pasti penderita talasemia di Jabar sulit untuk diketahui.
Sementara Staf Ahli Departemen Kesehatan RI, Rachmi Untoro mengatakan, hingga saat ini belum ada obat yang bisa menyembuhkan talasemia secara utuh.
"Indonesia, masuk dalam negara yang berisiko tinggi talasemia. Di Indonesia, setiap tahunnya 3 ribu bayi yang lahir berpotensi terkena talasemia," katanya.
5 komentar:
butuh keseriusan utk mensikapi kemungkinan yg terjadi jika diprediksikan penderita talasemia ini akan meningkat jumlahnya,
alokasi dana yg begitu besar utk memerangi bahayanya penyakit talasemia dari depkes ini jgn sampai disalahgunakan, karena kebanyakan penderita talasemia berasal dari keluarga ekonmi lemah.
begitu banyaknya problema kesehatan pada masyarakat yng mesti mendapat perhatian lebih dari pihak terkait, akankah semua ini dapat diselesaikan?
kampanye dan pendidikan agresif model turun langsung dirasa kurang efektif, tanpa adanya itikad baik dari depkes utk menanggulagi kemungkinan lebih jauh. apa dengan cara begitu penyakit talasemia bisa dikurangi, ini yg harus diperjelas dari artikel di atas.
peran serta aktif dari petugas kesehatan tingkat bawah seperti puskesmas atau kader kesehatan sangat membantu upaya masyarakat kita thd jenis penyakit ini.
Posting Komentar