07 November 2009

Pilah-pilih Pemandu Olah Tubuh

Sejak tiga bulan lalu, Ayuni berolahraga didampingi pelatih pribadi (personal trainer). Tujuannya, "Ingin sehat," ujar pegawai swasta yang tinggal di Yogyakarta itu. Ia kerap sakit kepala dan muntah-muntah berhari-hari menjelang menstruasi. Selain itu, ia ingin menaikkan bobot tubuhnya yang cuma 38 kilogram untuk tingginya yang 155 sentimeter.

Demi tujuan itu, Ayuni mencari pelatih pribadi. Seorang pegawai di pusat kebugaran di dekat rumahnya menyodorkan tiga pelatih kepadanya. Di antara ketiganya, pegawai itu merekomendasikan seorang lulusan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FPOK IKIP) Yogyakarta, yang juga pelatih karate dan pelatih renang di beberapa hotel sebagai pelatih pribadinya.

Tak punya referensi apa pun soal pelatih pribadi, Ayuni menerima rekomendasi itu begitu saja. Pertimbangan utamanya, hotel-hotel besar saja memilihnya sebagai pelatih. Pertimbangan lainnya, "Dia sabar."

Ayuni adalah contoh dari orang awam yang kebanyakan tanpa referensi ketika memilih pelatih pribadi. Hanya, ia beruntung mendapatkan pelatih pribadi yang paham benar bagaimana mencapai tujuan pasiennya. Dengan latihan tiga kali sepekan dan mengatur menu yang seimbang, bobot Ayuni bisa naik 3 kilogram dalam sebulan.

Ketua Umum International Fitness Professional Association (IFPA), yang juga spesialis kedokteran olahraga Soeharto, menganggap pelatih pribadi Ayuni yang lulusan FPOK paham benar bagaimana melatih dan mencapai tujuan pasiennya. Lulusan FPOK (kini sudah tidak ada lagi) mengetahui pengetahuan mengenai kesehatan dan hal-hal yang diperlukan sebagai pelatih.

Suharto menyarankan agar sebelum menentukan pilihan, selayaknya pasien menanyakan lisensi atau sertifikat pelatihan terhadap calon pelatih pribadi. "Jangan menyerahkan tubuh kepada orang yang tidak pernah ikut pelatihan," ujar Suharto, Rabu lalu di Jakarta.

Kemampuan pelatih pribadi, kata Soeharto, terbagi dalam tiga kategori: pelatih yang hanya boleh memberi latihan dasar, pelatih yang boleh memberikan program khusus dan yang advance, dan yang boleh membuat program latihan untuk konsumen kebugaran.

Idealnya, kata Suharto, seorang pasien seharusnya memeriksakan diri dulu kepada dokter untuk mengetahui kondisi fisik pasien, karena pada dasarnya pelatih pribadi adalah pembantu dokter olahraga. Hasil pemeriksaan fisik dokter itu menjadi patokan bagi pelatih pribadi untuk menentukan porsi latihan dan menu makan sehari-hari pasien.

Latihan dan menu makanan sehari-hari itu harus dipantau dan dievaluasi secara teratur dan dikonsultasikan kepada dokter. "Harus ada kerja sama antara pelatih pribadi dan dokter." Akan halnya pasien, berhak menanyakan tentang apa saja mengenai latihan, menu makan yang disodorkan kepadanya, serta hasil evaluasi. Hal ini harus dilakukan karena setiap latihan akan selalu menimbulkan risiko terhadap kondisi pasien.

Latihan tanpa didasari hasil pemeriksaan dokter bisa membuat latihan yang diberikan pelatih bukan hanya tak bisa mencapai target yang diinginkan, melainkan justru bisa berakibat buruk bagi pasien. Ayuni, misalnya, beruntung karena latihannya berhasil. Tidak hanya bisa menaikkan bobot tubuh, tapi juga bisa mengusir keluhan-keluhan yang dideritanya. Jika yang terjadi justru sebaliknya, postur tubuh tidak saja menjadi lebih buruk, tapi latihan yang keliru "bisa membunuh orang juga kalau malpraktek."

Selama ini, kata Suharto, banyak pasien yang meninggal di pusat-pusat kebugaran lantaran pelatih pribadi hanya memberikan latihan sesuai dengan keinginan pasien tanpa mengetahui kondisi fisik pasien yang sebenarnya. Padahal latihan yang diberikan akan semakin besar risikonya jika pasien sudah berumur, mengidap penyakit tertentu, dan memiliki kemampuan fisik yang telah menurun.

Efek dari latihan sebenarnya bisa dirasakan efeknya secara langsung oleh pasien. "Ada gejala nyata atas fungsi tubuhnya sendiri," kata Soeharto. Tolok ukurnya adalah kemajuan dan kemampuan fisik, fungsi paru-paru, dan jantung.

***

Tidak semua penyakit perlu obat. Spesialis kedokteran olahraga, Suharto, mengatakan tubuh yang sakit akibat penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh perubahan gaya hidup dan lingkungan (diseases of a lifestyle and environment) sebenarnya tidak memerlukan obat.

Penyakit yang timbul akibat perubahan gaya hidup dan lingkungan ini bisa dihindari dan diusir dengan olahraga. "Olahraga akan memacu dan menormalkan kembali fungsi masing-masing organ tubuh," ujar Suharto.

Berikut ini adalah kondisi dan hal-hal yang menimbulkan penyakit akibat gaya hidup dan lingkungan:

* Makanan. Baik akibat kurang makan, kelebihan makan, dan salah makan.
kebiasaan-kebiasaan baik yang ditinggalkan. Seperti kebiasaan jalan kaki yang ditinggalkan karena lebih banyak mengendarai mobil.
* Minuman keras.
* Perilaku seks yang keliru.
* Penggunaan obat yang berlebihan dan tidak perlu.
* Gangguan tidur seperti kurang tidur.
* Polusi suara, getaran elektronik, dan sinar.
* Polusi udara dan air.



Sumber: www.tempointeraktif.com

1 komentar:

ariyani mengatakan...

padahal banyak cara untuk sehat yg tdk mengandung resiko tinggi, misalnya senam aerobik secara bersama juga dapat dilakukan tanpa perlu memanggil pelatih khusus, dengan semakin canggihnya alat2 kebugaran orang dapat berolahraga secara mandiri.

Posting Komentar