KOMPAS.com — Gerah tidak mendapat perhatian dari pihak terkait di Riau, Ide Syamsuddin nekat ke Jakarta dengan mengendarai motor. Terik mentari tidak ia pedulikan. Kamis 22 Oktober 2009 pukul 13.00 bersama Honda Supra 125 tahun 2009 warna merah dengan nopol BM-4155-V, ia meninggalkan rumahnya.
Setelah melewati tiga provinsi melalui Jalan Lintas Timur Sumatera, Ide yang beralamat di Jalan Kartini 15 Candirejo, Air Molek, Indragiri-Hulu (Inhu), Riau, akhirnya sampai di Jakarta pada Jumat (23/10) pukul 23.00. Di Ibu Kota negara yang baru kali pertama ia datangi, asanya menunggal untuk mencari keadilan bagi anaknya, EF (10), yang diduga menjadi korban malapraktik.
Melapor ke KPAI
Lembaga pertama di Jakarta yang ia sambangi adalah Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Ia datang setelah mendapat rekomendasi dari KPAI Riau. Langkah ini diambil setelah Bupati Inhu, Polres Rengat, Polda, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Riau sampai ke Gubernur Riau tidak pula menyelesaikan persoalan. “Bahkan, Pemda dan Ketua IDI Riau sudah ke rumah saya, tapi mana hasilnya?” kata Ide di Kantor KPAI Jakarta, Jumat (6/11). Ide didampingi oleh istri dan anaknya EF yang datang menyusul Ide setelah satu minggu Ide ngekos di daerah Pasar Rebo.
Semuanya bermula saat EF mengeluh sakit. Tanggal 27 Juli 2008, EF anak pertama dari tiga bersaudara dibawa ke RS Ibnu Sina Air Molek Kabupaten Indragiri Hulu-Riau. Oleh dokter setempat, dr R, ia dinyatakan sakit tifus. Namun untuk memastikannya, EF dibawa ke RSUD Indrasari Pematang Reba Kabupaten Indragiri-Hulu Riau. Di rumah sakit kedua, dr IB memastikan kalau EF menderita usus buntu. Kesimpulan itu dibuat setelah IB hanya memegang EF. “Ini usus buntu. Ini harus secepatnya dioperasi. Kalau tidak, bisa infeksi, pecah. Lalu dibersihkan dan dikeluarkan ususnya. Kalau bisa malam ini juga pukul delapan dioperasi,” ungkap Ide mengulang kalimat IB.
Keesokan harinya, 29 Juli 2008, EF dioperasi oleh IB. Anehnya, menurut Ide yang berprofesi sebagai perajin, operasi ini tidak didahului dengan diagnosis. Lebih dari itu, baik IB maupun pihak rumah sakit tidak mengajukan informed concent untuk mendapatkan kesepakatan dengan pihak keluarga atas operasi EF. Parahnya, selama 8 hari pasca-operasi, IB hanya sekali memeriksa keadaan EF. Pada hari keempat, IB mengatakan bahwa usus EF dalam keadaan baik. Padahal, kondisi EF semakin parah. “Anehnya, para perawat di situ bilang, 'kalau Bapak sayang pada anak Bapak, bawalah anak Bapak rujuk ke Pekanbaru karena sudah banyak yang meninggal karena ini. Kalau Bapak menunggu rujukan dari IB, tidak akan ada',” papar Ide mengenang.
Mendengar hal itu, Ide yang lulusan SMA memutuskan membawa anaknya ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, Riau. Di rumah sakit ini, EF dirontgen empat kali. Sayangnya, tidak ada tindakan medis lain setelah itu. Maka, setelah satu hari satu malam, Ide memindahkan anaknya ke RS Awal Bros Pekanbaru, Riau. Saat itu, dokter yang menangani EF adalah dr Zul Asdi. “(Anak Bapak) ini sudah parah dan sudah infeksi usus,” ujar Zul.
Setelah dirontgen, Ide mengatakan bahwa EF dioperasi dua kali. Operasi pertama berhasil memotong 22 sentimeter usus yang sudah membusuk. Kemudian, sebanyak 6 sentimeter usus EF kembali dibuang dalam operasi kedua. “Pada akhirnya, anak saya dioperasi tiga kali dalam waktu 45 hari dan kehilangan usus 35 sentimeter yang mana IB yang melakukan operasi pada anak saya tanpa diagnosis dan persetujuan saya,” tukas Ide.
Dampak malapraktik
Peristiwa dugaan malapraktik tersebut sudah setahun lewat. Kini, kondisi EF tampak sehat. Berjalan pun sudah seperti biasa. Namun, ada kebiasaan makan yang berubah pada EF. Kalau dulu, kisah Ide, EF sekali makan satu piring. Kini anaknya itu hanya mampu makan seperempatnya. Seperempat bagian lagi dimakan dua jam berikutnya, dan seterusnya. “Selain itu, anak saya sampai sekarang sudah tiga kali mengalami kejang sampai koma. Saya sendiri tidak tahu apakah ini akibat malapraktik. Yang jelas, itu terjadi setelah kejadian itu,” papar Ide.
Selain itu, ia menambahkan bahwa biaya pengobatan EF di empat rumah sakit dan tiga kali operasi sebanyak Rp 180 juta. Ia mengaku uang sebanyak itu tidak mampu ditanggung sendiri. “Saya dapat kemurahan dari mertua. Ia menjual rumahnya,” ujar Ide sambil berkaca-kaca dan menahan isak tangis.
Yang lebih memprihatinkan, ia mendapati bukan hanya EF saja yang diduga korban malapraktik IB. Ada 12 anak lain yang keluarganya mengaku pada Ide sebagai korban dugaan malapraktik. Itulah yang menjadikan tambahan motivasi untuk membawa kasus ini sampai ke Jakarta. “Selain memang IDI setempat tidak bertindak apa pun,” ungkap Ide.
Langkah KPAI
Mendapat laporan dari Ide dan rekomendasi dari KPAI Riau, pihak KPAI yang diwakilkan oleh Komisioner KPAI Magdalena Sitorus langsung mengambil langkah. Menurut Magdalena, KPAI telah mengirimkan surat ke Kapolda Riau agar segera menyelesaikan kasus dugaan tindak pidana malapraktik.
Selain itu, KPAI juga telah melaporkan hal ini ke Menteri Kesehatan, IDI, dan Majelis Kehormatan Kedokteran Indonesia pada 4 November 2009. “Kita ingin dalam kasus ini, Ikatan Dokter Indonesia hendaknya proaktif dan bersikap netral dan tidak menutup-nutupi. Jangan sampai diterjemahkan masyarakat (IDI) membela koleganya,” harap Magdalena.
Belajar dari kasus ini, ia menambahkan bahwa ke depan, hal serupa tidak terulang. Memang dari segi laporan yang masuk, dugaan malapraktik pada anak seperti EF ini tidak banyak. “Namun, bukan dari segi kuantitas yang kita lihat. Kesalahannya itu sudah menyangkut segi kualitas yang sangat membahayakan,” pungkas Magdalena. (ONE)
Dipublikasikan pertamakali : 07.11.09
Agama Adalah Pemahaman
8 tahun yang lalu
4 komentar:
Kejadian tersebut tidak boleh dianggap sepele lagi, ini menyangkut hidup dan matinya seseorang. Rumah sakit sebaiknya tdk membodohi pasien dengan bahasa medis yg hampir setiap orang tdk memahaminya kecuali kalangan medis sendiri. kalo orng mampu sih msh banyak duitnya, lha kalo miskin bagaimana?
Sebaiknya kalo ada kejadian malpraktek semacam ini tdk usah menuntut ke pihak rumah sakit bikin cape ajah, mending dilaporkan ke polisi saja bila perlu dijerat dengan pasal pidana walaupun terkadang sama saja hasilnya tapi paling nggak bisa bikin oknum dokter di rumah sakit berurusan dengan polisi.
Perjuangan dan kerja keras ayahnya patut diapresiasi bersama, sayangnya mash banyak pihak yg tdk memberikan jalan keluar yg tuntas sehingga memaksa utk dirinya datang ke jakarta hanya sekedar mengadukan tindakan malpraktik ini. Tapi sayangnya si anak sdh terlanjur sakit permanen,
Lagi-lagi masyarakat yang kurang mampu menjadi korban ketidak adilan. Seharusnya pemerintah daerah lebih arif dan bijak agar kasus ini dapat di selesaikan di tingkat daerah, apa untungnya otonomi daerah kalau semuanya masih harus kembali ke Jakarta.
Ini baru satu P. Syamsudin coba bayangkan kalau seandainya muncul P.Syamsudin-P.Syamsudin lain pada datang ke Jakarta dan mengadukan yang sama.
Posting Komentar