JAKARTA, KOMPAS.com — "Kata ayah saya, udara bagai diracuni," begitulah ungkap Tato Dena, tetua adat Toraja, ketika diwawancarai oleh Tim Peneliti Sejarah dari Universitas Indonesia (UI). Pernyataan Tato Dena itu menggambarkan betapa mengerikannya wabah influenza yang pernah menghantui Tanah Air pada 1918.
Tim peneliti sejarah UI mamaparkan laporan akhir mereka itu pada seminar bertajuk Sejarah Pandemi Influenza di Hindia Belanda pada 1918, di Kampus UI Depok, Kamis (15/10). Penelitian selama 6 bulan itu dilakukan berdasarkan riset serupa yang pernah dilakukan ilmuwan asal Australia, Collin Brown, pada dua dekade silam.
Anggota tim peneliti, Tubagus Arie Rukmantara, mengatakan, jauh sebelum wabah flu burung yang terjadi saat ini, Indonesia dan dunia pernah mengalami pandemi serupa. "Itu nyata. Karena nyata, kita harus menghadapinya," ungkap Arie.
Dalam presentasinya, Arie memaparkan pandemi influenza bermula di Amerika Serikat pada Maret 1918. Meski terjadi kepanikan di kalangan penduduk, musibah yang diperkirakan menewaskan ratusan juta orang itu seolah dilupakan dalam sejarah negara tersebut.
"Di Indonesia pun dilupakan. Karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menyampaikan bahwa respons yang tepat itu sebenarnya sederhana, tapi sangat bermanfaat," ujarnya.
Tidak adanya respons yang tepat pada wabah di AS itu menyebabkan virus flu menyebar dengan cepat ke Eropa melalui tentara AS yang berperang pada masa Perang Dunia I.
Indonesia sendiri mulai terjangkit virus influenza pada Juli 1918. Penularan berawal dari China sebagai negara pertama di Asia yang terjangkit influenza, lalu menyebar hingga pantai utara Sumatera.
Konsul Belanda di Singapura sempat memberi peringatan kepada Pemerintah di Batavia untuk mewaspadai kedatangan orang-orang yang tertular flu dari daratan China. Sayangnya, peringatan ini tidak sampai ke daerah lain sehingga virus dapat menjalar melalui pelabuhan di Banjarmasin, Makassar, dan Buleleng. Dalam waktu pesat, penyakit itu menjamah wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Jumlah korban jiwa mencapai puncaknya pada Oktober hingga Desember 1918. Total korban meninggal saat itu mencapai 1,5 juta orang atau lima persen dari total 30 juta penduduk Hindia Belanda waktu itu.
Tingginya angka kematian akibat penyakit tersebut antara lain disebabkan oleh kesalahan diagnosis. Waktu itu, pasien dianggap/dicurigai menderita malaria atau pes.
"Catatan itu tercampur dengan pes. Penduduk saat itu juga menggunakan pengobatan tradisional. Mereka menggunakan temulawak atau curcuma untuk mengusir rasa dingin dan menaikkan ketahanan tubuh," ungkap Kresno Brahmantyo, staf pengajar sejarah UI sekaligus anggota tim peneliti.
Gunakan temulawak
Sementara itu, anggota tim peneliti lain, Harto Juwono, mengutarakan bahwa masyarakat waktu itu sudah memberikan metode penanganan penyakit seperti saat menyembuhkan penyakit malaria. Berdasarkan cerita yang diambil dari buku Lelara Influenza terbitan Bale Poestaka 1920, orang Jawa menggunakan pil kina untuk menyembuhkan pasien flu. Opium juga sering digunakan untuk meringankan derita pasien.
"Di buku itu diceritakan, orang Jawa mengetahui flu tersebar lewat debu yang terbawa oleh angin. Orang sakit tidak boleh keluar rumah selama lima hari dan setelah satu minggu baru boleh keluar, tapi tidak boleh buka baju," papar Harto.
Ketiga pembicara tersebut menyatakan bahwa penanganan influenza pada masa tersebut mendapat perhatian serius dari Pemerintah Kolonial Belanda. Kepala Residen bertanggung jawab terhadap timbulnya korban yang berjatuhan.
Agama Adalah Pemahaman
8 tahun yang lalu
2 komentar:
Sejarah yang hampir terlupakan.baru kali saya tau kalau ternyata Pandemi Influenza pernah menimpah negeri kita 91 tahun yang lalubahkan 1.5 warga Indonesai meninggal dunia. Ini adalah fakta dan sejarah baru badi dunia kesehatan kita.
andaikan saja semua ahli kesehatan di dunia ini tetap melakukan penelitian dan mencoba terus utk mencari obat penangkal virus ini, mngkn saja penyebaran virus ini bisa dicegah atau bisa jadi dihilangkan di muka bumi ini.
Posting Komentar