skip to main |
skip to sidebar
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah perlu mengatur harga obat agar terjangkau masyarakat. Pelepasan harga obat ke mekanisme pasar ternyata tidak membuat harga obat menjadi murah sehingga terjangkau masyarakat luas. Demikian terungkap dalam disertasi Erni Widhyastari untuk memeroleh gelar doktor bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Disertasi bertajuk "Faktor yang Berpengaruh Terhadap Perubahan Harga Obat Di Indonesia tahun 2003-2005" tersebut berhasil dipertahankan dengan yudisium sangat memuaskan.
Erni uga bekerja sebagai Kasubdit Pemeriksaan Paten III Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Data harga dan penjualan diambil dari Intercontinental Medical Statistic (IMS) selama September 2003 hingga Juni 2008. Total sampel dari populasi obat-obat yang telah berakhir masa patennya antara 2000-2006.
Erni mengatakan, berdasarkan data Badan Pengawasan Obat dan Makanan, belanja farmasi untuk tahun 2005-2009 meningkat dari Rp 23,6 triliun menjadi Rp 32,90 triliun. Belanja obat itu dapat ditekan jika harga obat bisa dikendalikan. Hasil survei Departemen Kesehatan menunjukkan variasi harga obat yang sangat besar. Dia mencontohkan harga amoksilin per kapsul 250 mg bervariasi dari Rp 210-Rp 2.902. Harga yang termahal hampir mencapai 14 kali dibanding dengan harga obat generik yang termurah.
"Kalau persaingan menurunkan harga, harga obat seharusnya tidak bervariasi sebesar itu. Harga seharusnya tidak ditentukan industri farmasi tetapi ditentukan naik turunnya persediaan dan permintaan sesuai persaingan. Tetapi, harga obat tidak mengikuti hukum pasar itu," ujarnya. Untuk pasar farmasi yang terjadi ialah pasar persaingan tidak sempurna. Produsen mempunyai kekuatan lebih dan mengendalikan harga produknya di pasar. Perusahaan farmasi dapat melakukan diskriminasi harga atau penetapan harga dengan perbandingan harga dan biaya marjinal berbeda di antara pembeli. Penetapan harga obat di Indonesia oleh produsen cenderung setara dengan harga obat di negara maju.
Erni mengatakan, tidak cukup satu jurus jitu untuk mengendalikan harga obat agar memuaskan semua pihak. Di negara lain, umumnya diterapkan kombinasi kebijakan. Pengendalian paling efektif ialah mengaitkan penetapan harga obat dengan izin produksi atau izin edar obat seperti yang dilakukan Australia. Izin dapat ditarik jika harga naik melebihi inflasi.
Alternatif lainnya ialah peningkatan penggunaan obat generik. Dokter menuliskan resep dengan menggunakan nama obat generik kecuali atas informasi harga, pasien memilih merek dagang tertentu. Mekanisme pengendalian yang terbaik ialah jika Indonesia memiliki asuransi atau jaminan kesehatan nasional sehingga mampu menegosiasi volume dan harga obat dengan produsen dan pengecer.
6 komentar:
jangankan harga obat yg perlu diatur pemerintah, tetapi pengawasan pelayanan mutu dan kualitas kesehatan di rumah sakit dan puskesmas juga mestinya ada pengawasan sendiri.
disamping pengaturan harga obat yg mudah dijangkau,yang lebih penting lagi ketersediaan obat di pasaran agar masyarakat juga tidak mengalami kesulitan mencarinya.
kalau hanya sebatas instruksi dan pengawasan percuma kalau setiap obat tidak tercantum labelisasi harga disetiap kemasan, karena setiap apotik atau toko obat menjual dengan harga yang berfariasi
Betul. Terutama apotik di lingkungan R Sakit, mereka menjual obat harganya lebih mahal dari pada beli diluar dengan merk dan kualitas yang sama.
Kalo harga obat tetap diserahkan ke mekanisme pasar sih percuma sajah, yg terjadi obat tetap ajah mahal dan susah dicari krn pasti dimainkan oleh para pelaku pasar itu sendiri.
selama ini harga obat yg mahal juga menjadi penyebab masyarakat yg kurang mampu tidak mau pergi berobat ketika mengalami sakit, dan hanya cukup membeli obat warung yang harganya cuma RP 1000,-
Posting Komentar