Selalu terjadi setiap tahun. Setiap menjelang perayaan hari-hari tertentu, dua minggu sebelumnya harga-harga sembako tiba-tiba melonjak. Pemerintah baru mengumumkan rencana kenaikan gaji PNS dan TNI. Tiba-tiba barang langka atau tidak ada di pasaran. Kemudian itu membuat repot konsumen saat tiga hari menjelang perayaan.
Demikian juga menjelang Ramadan tahun ini, dan hampir bisa dipastikan kenaikan harga-harga yang sama juga bakal terjadi tak lama lagi menjelang Idul Fitri. Kemudian menjelang Natal dan perayaan Tahun Baru.Jika terjadi, selalu yang dipersalahkan adalah konsumen. Konsumen selalu dituding membeli berlebihan dan tidak wajar. Mungkin saja benar demikian, namun jika dihadapkan fenomena kenaikan harga dua minggu sebelum even, apakah rasional konsumen membeli bahan pokok secara tidak wajar dalam kurun waktu yang lama begitu?
Ini hampir bisa dipastikan ulah pedagang spekulan. Bukankah hukum ekonomi mengatakan harga pasar bisa terjadi karena dinamika di sisi konsumen maupun produsen? Apakah konsumen memiliki perhimpunan lalu menyerbu dan atau meninggalkan pasar secara bersama-sama? Kita belum pernah dengar. Namun kalau produsen dan pedagang memang memiliki perhimpunan, baik bersifat formal maupun non formal. Yang sekadar kumpulan arisan sampai yang seperti kartel, sindikat atau bahkan mafia.
Dan bisa saja kartel, sindikat dan mafia distribusi sembako itu memiliki anggota oknum-oknum pejabat di pemerintahan. Bagaimana tidak. Pada saat kenaikan harga tidak normal di even-even khusus, semua angkat tangan dan tidak tahu ke mana larinya stok barang, juga mengapa harga sembako naik tidak normal.
Padahal gampang sekali jalur distribusi itu. Dari pelabuhan laut baik berskala internasional maupun domestik, lalu ke gudang distributor tunggal nasional maupun lokal, lalu ke gudang agen, sub agen sampai pengecer. Pemerintah juga tahu di mana gudang-gudang mereka, berapa rata-rata persediaannya sehingga kalau terjadi mismatch data jumlah (stok) barang di pelabuhan hingga di pasar, dengan mudah dipantau.
Kelangkaan barang dalam jumlah besar sehingga mempengaruhi harga pasar, bisa terjadi kalau dilakukan penimbunan stok dalam skala yang besar. Mereka menghambat laju dsitribusi sembako, agar harga melonjak tinggi.
Pada suasana khusus semisal Idul Fitri atau Ramadan serta even-even keagamaan lainnya, konsumen tidak punya pilihan. Mau tidak mau berapa pun harganya, sembako harus dibeli. Sementara pedagang spekulan berfoya-foya menikmati ketidakberdayaan posisi tawar konsumen itu. Mereka benar-benar "teroris" ekonomi.
Kalau terjadi kelangkaan dan kenaikan harga sembako tidak wajar, tidak serta-merta departemen atau pejabat yang berwenang itu mengusulkan anggaran taktis untuk operasi pasar murah. Cara-cara seperti ini, selain tidak menyelesaikan akar persoalan juga rawan pada tindak korupsi. Apalagi hal ini berulang-ulang setiap tahun.
Karena itu harus dilakukan inspeksi mendadak ke gudang-gudang itu. Para pejabat yang bertanggung jawab atas persoalan ini harus berhenti dulu "berselingkuh" dengan para pedagang itu, atau pejabatnya yang harus diganti. Sesudah itu, dilakukan pengawasan secara terus-menerus dan kontinu pada mekanisme dan semua instrumen distribusi. (**)
http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=67876
Demikian juga menjelang Ramadan tahun ini, dan hampir bisa dipastikan kenaikan harga-harga yang sama juga bakal terjadi tak lama lagi menjelang Idul Fitri. Kemudian menjelang Natal dan perayaan Tahun Baru.Jika terjadi, selalu yang dipersalahkan adalah konsumen. Konsumen selalu dituding membeli berlebihan dan tidak wajar. Mungkin saja benar demikian, namun jika dihadapkan fenomena kenaikan harga dua minggu sebelum even, apakah rasional konsumen membeli bahan pokok secara tidak wajar dalam kurun waktu yang lama begitu?
Ini hampir bisa dipastikan ulah pedagang spekulan. Bukankah hukum ekonomi mengatakan harga pasar bisa terjadi karena dinamika di sisi konsumen maupun produsen? Apakah konsumen memiliki perhimpunan lalu menyerbu dan atau meninggalkan pasar secara bersama-sama? Kita belum pernah dengar. Namun kalau produsen dan pedagang memang memiliki perhimpunan, baik bersifat formal maupun non formal. Yang sekadar kumpulan arisan sampai yang seperti kartel, sindikat atau bahkan mafia.
Dan bisa saja kartel, sindikat dan mafia distribusi sembako itu memiliki anggota oknum-oknum pejabat di pemerintahan. Bagaimana tidak. Pada saat kenaikan harga tidak normal di even-even khusus, semua angkat tangan dan tidak tahu ke mana larinya stok barang, juga mengapa harga sembako naik tidak normal.
Padahal gampang sekali jalur distribusi itu. Dari pelabuhan laut baik berskala internasional maupun domestik, lalu ke gudang distributor tunggal nasional maupun lokal, lalu ke gudang agen, sub agen sampai pengecer. Pemerintah juga tahu di mana gudang-gudang mereka, berapa rata-rata persediaannya sehingga kalau terjadi mismatch data jumlah (stok) barang di pelabuhan hingga di pasar, dengan mudah dipantau.
Kelangkaan barang dalam jumlah besar sehingga mempengaruhi harga pasar, bisa terjadi kalau dilakukan penimbunan stok dalam skala yang besar. Mereka menghambat laju dsitribusi sembako, agar harga melonjak tinggi.
Pada suasana khusus semisal Idul Fitri atau Ramadan serta even-even keagamaan lainnya, konsumen tidak punya pilihan. Mau tidak mau berapa pun harganya, sembako harus dibeli. Sementara pedagang spekulan berfoya-foya menikmati ketidakberdayaan posisi tawar konsumen itu. Mereka benar-benar "teroris" ekonomi.
Kalau terjadi kelangkaan dan kenaikan harga sembako tidak wajar, tidak serta-merta departemen atau pejabat yang berwenang itu mengusulkan anggaran taktis untuk operasi pasar murah. Cara-cara seperti ini, selain tidak menyelesaikan akar persoalan juga rawan pada tindak korupsi. Apalagi hal ini berulang-ulang setiap tahun.
Karena itu harus dilakukan inspeksi mendadak ke gudang-gudang itu. Para pejabat yang bertanggung jawab atas persoalan ini harus berhenti dulu "berselingkuh" dengan para pedagang itu, atau pejabatnya yang harus diganti. Sesudah itu, dilakukan pengawasan secara terus-menerus dan kontinu pada mekanisme dan semua instrumen distribusi. (**)
http://www.fajar.co.id/index.php?option=news&id=67876
5 komentar:
emang ruang gerak spekulan ini keliatan licin bener, bisa juga membikin langka kebutuhan pokok pada saat semua orang mencari-cari. apa mungkin diback up oleh pihak tertentu yah.
ulah spekulan yang semakin menjadi-jadi apalagi menjelang lebaran begini bikin pusing juga dan anehnya terus terjadi. Atau memang ada permaianan dibelakang layar yah.
memang spekulan cocok disebut teroris, gerak mereka tidak nampak terlihat tapi dampaknya sangat terasa. Apalagi skrng mau lebaran semabako tiba2 saja harganya meroket bikin kepala pusing ajah. Kenapa pemerintah terkesan tdk berdaya menghadapi gerak Teroris spekulan ini.
walaupun pemerintah ngadain operasi pasar atau pasar murah lah, nyatanya teroris spekulan msh ajah bisa leluasa bergerak memainkan harga sembako. Kalo bisa sih jgn operasi pasar lagi tapi operasi teroris spekulan....tembak mati ajah kayak Noordin M. Top.
kejadian gempa di sumatera barat juga dimanfaatkan oleh spekulan untuk menaikan harga kebutuhan pokok masyarakat di sana, masa bensin ajah satu liter harganya Rp 20.000,-. Tega bener mengeruk keuntungan di tengah orang lagi terkena bencana.
Posting Komentar