JAKARTA, KOMPAS.com — Pengobatan massal tidak cukup untuk menyelesaikan permasalahan filariasis yang kini tersebar merata di Indonesia. Gencarnya pengobatan massal, seperti dalam kasus filariasis, menggambarkan paradigma kesehatan yang masih memilih cara termudah, ketimbang penanganan secara komprehensif.
Hal itu dikemukakan pengamat kesehatan masyarakat dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Adi Sasongko, Senin (16/11). Dia mengatakan, dalam kasus seperti filariasis terdapat faktor manusia dan vektor, yakni nyamuk. Namun, yang terlihat gencar sebagai upaya utama pemberantasan filariasis ialah pengobatan massal. Pengobatan massal relatif lebih mudah dilaksanakan.
Sementara itu, faktor penentu lain seperti pembenahan lingkungan hidup, pemberdayaan masyarakat, dan penyuluhan mengenai filariasis itu sendiri cenderung terabaikan. Ratusan orang yang mendatangi rumah sakit setelah mengalami efek pengobatan, seperti pusing dan mual, juga menandakan kurangnya sosialisasi terhadap warga mengenai efek pengobatan tersebut. Kurangnya sosialiasi itu akan membuat orang kapok dan menolak obat tersebut. Pengobatan pun menjadi sia-sia.
Guna memutus rantai penyakit seperti filariasis, penanganan komprehensif dibutuhkan. Warga yang tubuhnya mengandung filariasis dapat menerima obat tersebut. Pengobatan itu diiringi pembenahan lingkungan hidup, termasuk pembersihan tempat perkembangbiakan nyamuk dan pembangunan infrastruktur kawasan tempat tinggal yang layak. Itu tidak dapat ditanggung oleh Departemen Kesehatan sendiri, tetapi bersinergi dengan departemen terkait lain sehingga tidak mudah.
Pemerintah juga harus mengevaluasi keefektifan pengobatan massal. Jika pengobatan massal filariasis itu efektif, maka mengapa masih terdapat filariasis. Bahkan, sekarang merata. "Dulu, filariasis hanya terjadi di kantong-kantong daerah endemis," ujarnya.
Agama Adalah Pemahaman
8 tahun yang lalu
4 komentar:
Disamping terkesan mencari jalan termudah dalam penanganan dampak negatif filariasis ini, sepertinya tidak ada keseriusan pihak dinkes atau tenaga kesehatan untuk menumpas habis bakteri penyebab kaki gajah ini. Seharusnya ada tindakan sporadis dan sistematis bersama diantara petugas kesehatan ketika pertama kali ditemukan kasus kaki gajah ini dong.
Sayang sekali kalo Dinkes setempat hanya mengadakan pengobatan massal para penderita kaki gajah ini tanpa ada usaha untuk memberantas asal penyakitnya. Sebab bukannya penderita kaki gajah akan dapat diminimalisir justru sebaliknya bisa jadi semakin bertambah banyak saja.
Lebih penting lagi peran dinkes dalam memberikan pemahaman bahayanya penularan penyakit filariasis kepada masyarakat yg daerahnya ada kecenderungan menjadi endemis kaki gajah agar lebih diperhatikan lagi. Banyaknya warga yg kurang peduli pada kebersihan lingkungannya itu yg seharusnya terus di kawal.
Upaya penanggulangan penyakit kaki gajah yg sedang marak di beberapa daerah seharusnya juga melibatkan unsur LSM bila perlu mendatangkan tanaga ahli dari lembaga tertentu dengan difasilitasi Depkes. Keterlibatan lembaga lain dalam pemberantasan penyakit filariasis ini agar dapat ditemukan solusi yng tepat untuk mengatasinya, nyatanya selama ini dinas-dinas kesehatan belum mampu mengatasinya paling hanya memberikan obat pencegahan saja, nggak lebih dari itu.
Posting Komentar