06 November 2009

Inspirasi dari Siti Fadilah Supari

Oleh: Eman Hermawan

DALAM berbagai bidang kehidupan strategis bangsa, kita dengan telanjang bisa melihat adanya hegemoni asing di negeri ini. Draf beberapa undang-undang yang dibuat pascareformasi, misalnya, disiapkan oleh LSM-LSM asing. Berbagai kontrak karya di bidang pertambangan juga sangat menguntungkan asing tanpa ada keberanian dari elite-elite kita untuk melakukan renegosiasi secara adil dan menguntungkan.

Yang paling mutakhir adalah kontroversi terpilihnya Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih. Pejabat eselon II Departemen Kesehatan yang sangat dekat dengan Laboratorium Kesehatan Angkatan Laut Amerika Serikat (The US Naval Medical Research Unit - Namru) itu tiba-tiba dipilih sebagai Menkes. Sementara Nila Anfasa Moeloek -satu-satunya calon Menkes yang dipanggil ke Cikeas- tereliminasi tanpa alasan yang jelas.

Selain di bidang kebijakan strategis seperti UU, keputusan politik pemerintah dan kontrak-kontrak karya, hegemoni asing terlihat dalam cara berpikir para pemimpin dan kelas terdidik bangsa secara keseluruhan. Ketika membangun sistem hukum, ekonomi, politik, dan budaya, para elite dan kaum akademisi kita sudah berada pada posisi bawah sadar permanen bahwa Barat, khususnya Amerika, adalah contoh terbaik yang harus diikuti: the West was best and the rest had to follow (Ronaldo Munck & Denis O'Hearn, Critical Development Theory: Contributions to a New Paradigma, 1999: 201).

Kecenderungan untuk mengikuti pola pikir Barat tidak hanya terjadi di kalangan kaum ''priyayi'' dan ''abangan''. Kaum ''santri'' pun sudah ikut-ikutan larut dalam arus tersebut. Seperti dikatakan Fauzi M. Najjar dalam sebuah tulisannya, Democracy in Islamic Political Philosophy (Studia Islamica, vol LI, 1980), didorong oleh keinginan untuk menghadirkan Islam sebagai suatu sistem nilai modern, para pemikir Islam telah menafsirkan Islam dalam istilah dan pengertian liberal-Barat, misalnya demokrasi.

Dipengaruhi oleh berbagai penafsiran dan pengalaman Barat, para pemikir Islam -hanya karena ingin mempertontonkan kehebatan Islam dan watak demokratisnya yang asli- telah secara tidak kritis melecehkan pemikiran-pemikiran politik klasik, meremehkan pemikiran para filosof muslim sendiri.

Di sisi lain, ada kelompok ''santri'', yaitu kaum fundamentalis Islam, yang terhegemoni oleh cara berpikir asing juga, yaitu Islam Arab pada masa lalu. Semua hal berusaha diarabisasi, mulai cara berpakaian, penampilan, hingga sistem kenegaraan.

Kalau diamati secara seksama, apa yang dilakukan kaum priyayi, abangan, santri liberal, dan santri fundamentalis selama ini sebenarnya hanya meneruskan dan melanggengkan mentalitas inlander dan marsose yang tumbuh sejak zaman kolonial berabad-abad lalu. Yaitu, mentalitas rendah diri yang di dalamnya berkobar hasrat untuk menikmati kekuasaan yang tunduk kepada kekuatan luar yang dianggap superior.

Akibatnya, bangsa ini menjadi sulit untuk mandiri secara politik maupun ekonomi. Tradisi dan kebudayaan masyarakat setempat juga terus terpinggirkan. Padahal, jika belajar dari pengalaman kebangkitan Tiongkok, Rusia, India, dan negara-negara Amerika Latin, kebangkitan suatu bangsa tidak mungkin terwujud jika para pemimpinnya tidak punya harga diri dan politik yang bersumber pada kekuatan inti tradisi.

***

Di tengah suasana bangsa yang terhegemoni secara kuat oleh pemikiran-pemikiran dan kekuatan asing, di tengah kita selama lima tahun yang baru berlalu (2004-2009) muncul sosok perempuan mandiri dan berani: Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari. Dia memang perempuan biasa yang sederhana. Tetapi, keberaniannya tergolong luar biasa.

Siti Fadilah Supari menyadarkan kita tentang adanya hegemoni asing dalam dua kasus berikut, sekaligus memberikan solusi cerdas dan produktif untuk keluar dari hegemoni itu. Pertama, dalam bukunya, Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung, Siti Fadilah membongkar konspirasi pemerintah Amerika Serikat dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam mengembangkan senjata biologi virus flu burung, avian influenza (H5N1).

Setelah virus itu menyebar dan menghantui dunia, perusahaan-perusahaan dari negara maju memproduksi vaksin, lalu dijual ke pasaran dengan harga mahal di negara berkembang, termasuk Indonesia. Padahal, vaksin itu dibuat dari sampel korban flu burung yang meninggal dunia di negara-negara seperti Indonesia dan Vietnam dengan dalih untuk diagnosis.

Siti Fadilah protes keras ketika para ilmuwan tidak dapat mengakses data sequencing DNA H5N1 yang disimpan WHO Collaborating Center di Hongkong. Data itu justru disimpan di Los Alamos National Laboratoty di New Mexico, AS. Yang berada di bawah Kementerian Energi AS. Di lab itulah duhulu dirancang bom atom Hiroshima.

Kedua, di dalam negeri, Siti Fadilah memprotes keberadaan laboratorium kesehatan milik Angkatan Laut Amerika Serikat di Jakarta, yaitu NAMRU-2 (Naval Medical Research Unit). Proyek Namru-2 dimulai pada 1970 untuk meneliti virus-virus penyakit menular bagi kepentingan Angkatan Laut AS dan Departemen Pertahanan AS. Kontrak Namru-2 dengan RI sebenarnya sudah habis Januari 2000. Namun, pada praktiknya, Namru-2 masih beroperasi hingga 2005. SFS menghentikan kegiatan Nabru-2nya. Dia juga melarang seluruh rumah sakit mengirimkan sampel ke Namru-2 untuk diteliti. Banyak pihak mencurigai aktivitas Namru menjadi sarana kegiatan intelijen AS dengan berkedok riset.

Siti Fadilah telah menyadarkan kita tentang hegemoni asing dalam kasus virus dan Namru itu. Sebuah penyadaran dan pencerahan yang sangat positif, mencerdaskan, konstruktif, dan produktif. Ia tidak menyebarkan sikap antiasing atau kebencian terhadap mereka, tetapi serius mewujudkan keadilan dan kesetaraan dalam membangun kerja sama yang bermartabat, saling menghormati, dan menguntungkan.

Pada 6 November 2009, Siti Fadilah genap berusia 60 tahun. Selamat ulang tahun inspirator bangsa. (*)

*). Eman Hermawan, direktur Local Empowerment Center Jakarta


0 komentar:

Posting Komentar