29 Mei 2009

Buku Menkes 'Saatnya Dunia Berubah' akan Difilmkan

Jakarta - Saatnya Dunia Berubah. Itulah judul buku yang ditulis Menkes Siti Fadilah Supari, yang menjadi terkenal karena mengecam ketidakadilan virus sharing flu burung. Buku tersebut akan dibuat film layar lebar. "Ini adalah film layar lebar untuk festival yang juga bisa dijual," kata penggagas film tersebut, Shohibul Faroji, dalam perbincangan dengan detikcom, Kamis (29/5/2008). Awalnya, Shohibul tertarik dengan berita-berita di media massa soal keberadaan Laboratorium Namru-2 milik AS di Indonesia. Lalu dirinya mengirim SMS ke Menkes menanyakan hal tersebut.

"Waktu saya SMS, Bu Menkes mengatakan, soal Namru itu hak Presiden (untuk menjawab). Lalu saya katakan rencana memfilmkan bukunya, dan ternyata disambut baik," kata pria yang juga dosen di Universitas Paramadina dan Institut Ilmu Al Qur’an (IIQ) Jakarta ini.

Dalam waktu yang cukup singkat, Shohibul membuat script dan proposal. Lalu pada 25 Mei 2008, Menkes menerima dia di kantornya.

"Kami tengah mencari investor. Dan pendananya semua akan dari dalam negeri. Ada juga dari luar negeri yang sudah menawarkan, tapi kami tolak. Kami tidak mau menggadaikan nasionalisme. Ini adalah film rakyat pinggiran," sambungnya.
Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung merupakan buku yang ditulis oleh Menteri Kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K). Sejak terbitnya, buku ini menjadi pembicaraan di berbagai media internasional, karena buku ini dianggap membongkar konspirasi pihak barat terhadap sampel virus flu burung.

Diluncurkan pada Minggu, 6 Januari 2008 di Jakarta, buku ini membuat banyak pihak kebakaran jenggot. Dalam bukunya ini Siti Fadilah membuka kedok World Health Organization (WHO) yang telah lebih dari 50 tahun mewajibkan virus sharing yang ternyata banyak merugikan negara miskin dan berkembang asal virus tersebut.
Buku ini terbit pula dalam bahasa Inggris dengan judul It's Time for the World to Change.
Berikut adalah sebagian kutipan dari apa yang tertulis di buku tersebut.

Namun ironisnya pembuat vaksin adalah perusahaan yang ada di negara-negara industri, negara maju, negara kaya yang tidak mempunyai kasus flu burung pada manusia. Dan kemudian vaksin itu dijual ke seluruh dunia juga akan dijual ke negara kita. Tetapi tanpa sepengetahuan apalagi kompensasi untuk si pengirim virus, yaitu saudara kita yang ada di Vietnam.
Mengapa begini? Jiwa kedaulatan saya terusik. Seolah saya melihat ke belakang, ada bayang-bayang penjajah dengan semena-mena merampas padi yang menguning, karena kita hanya bisa menumbuk padi menggunakan lesung, sedangkan sang penjajah punya mesin sleyp padi yang modern. Seolah saya melihat penjajah menyedot minyak bumi di Tanah Air kita seenaknya, karena kita tidak menguasai teknologi dan tidak memiliki uang untuk mengolahnya. Inikah yang disebut neo-kolonialisme yang diramal oleh Bung Karno 50 tahun yang lalu? Ketidak-berdayaan suatu bangsa menjadi sumber keuntungan bangsa yang lain? Demikian jugakah pengiriman virus influenza di WHO yang sudah berlangsung selama 50 tahun, dengan dalih oleh karena adanya GISN (Global Influenza Surveillance Network). Saya tidak mengerti siapa yang mendirikan GISN yang sangat berkuasa tersebut sehingga negara-negara penderita Flu Burung tampak tidak berdaya menjalani ketentuan yang digariskan oleh WHO melalui GISN dan harus patuh meskipun ada ketidak-adilan?

0 komentar:

Posting Komentar